SELAMAT DATANG DI RUANG KECIL KAMI

Graha, Pondok, 'Regency'....

Yulfi Zawarnis *)

JAKARTA dan wilayah sekitarnya terus berbenah untuk menjadikan wilayah ini sebagai pusat kegiatan yang nyaman bagi masyarakat. Sarana transportasi, tempat hunian, sampai pusat-pusat perbelanjaan terus dibangun untuk mencapai tujuan ini. Alhasil muncullah nama-nama seperti Transjakarta busway, ITC (international trade centre), Cibubur Junction, hingga Depok Regency, Depok Town Square, Bogor Town Square, Bogor Nirwana Residence yang dilengkapi dengan The Jungle-nya, dan Bogor Trade Mall.

Para pengembang dan pengusaha pusat perbelanjaan dan perumahan beralasan menggunakan nama-nama berbahasa asing untuk meningkatkan citra sehingga terkesan mewah dan metropolis. Kalau saja nama-nama itu diubah misalnya menjadi jalur bus Transjakarta, pusat perdagangan internasional, Simpang Cibubur, Depok Indah atau Wisma Depok, Pusat Perdagangan dan Hiburan Depok, Rumah Huni Bogor Nirwana, dan Pusat Perdagangan Bogor.

Tentunya nama-nama seperti Citra Garden juga bisa diubah menjadi Taman Citra Indah. Pun demikian Simpur Centre diubah menjadi Pusat Perdagangan Simpur. Sebetulnya beberapa tahun yang lalu para wakil rakyat pernah mengusulkan untuk mengganti nama-nama yang bernuansa asing menjadi lebih Indonesia. Untuk itu, beberapa pusat perbelanjaan dan gedung bertingkat pernah diubah namanya, misalnya Pondok Indah Mall diganti menjadi Mal Pondok Indah. Entah mengapa peraturan itu hanya diterapkan sesaat dan sekarang kita kembali melihat menjamurnya penggunaan nama-nama yang berbahasa asing.

Alih-alih berkurang, gejala ini bahkan menjalar hingga ke kota-kota kecil di Indonesia, semisal Lampung. Ada apa dengan semua ini? Apakah alasan untuk keperluan menarik konsumen yang berkelas sosial tinggi dapat diterima? Ataukah mungkin hanya untuk gagah-gagahan. Rasanya tidak masuk akal karena tempat-tempat yang menggunakan bahasa Indonesia pun dapat menjadi tempat yang berkelas jika memang tujuan utama pembangunannya adalah untuk orang-orang dari kelas sosial yang lebih tinggi.

Beberapa perumahan mewah dan pusat perbelanjaan tetap dengan citra diri yang baik walaupun nama yang digunakan berbahasa Indonesia. Penggunaan nama pondok, wisma, graha, pusat grosir, pusat perdagangan, atau pusat perbelanjaan rasanya juga memiliki nilai rasa yang baik sehingga opini masyarakat pun akan tetap baik bila mendengar nama-nama ini.

Belum lagi selesai masalah membanjirnya penggunaan nama-nama yang berbahasa asing, nama-nama yang berbahasa Indonesia muncul dengan tetap mempertahankan struktur bahasa asing, terutama Inggris. Contoh yang paling terkini adalah pembangunan banjir kanal timur dan banjir kanal barat. Jika pembuat istilah ini mau berpikir lebih logis tentunya yang muncul bukan banjir kanal timur, melainkan kanal banjir timur. Bukankah dalam bahasa Indonesia kata yang kedua menjelaskan kata sebelumnya?

Oleh Sutan Takdir Alisjahbana gejala ini dirangkum sebagai hukum D-M (diterangkan-menerangkan). Jadi bila ada kata majemuk lorong waktu, waktu berfungsi untuk menerangkan lorong. Semua orang pasti setuju jika lorong waktu diubah menjadi waktu lorong akan terdengar aneh dan tidak sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia.

Jika alasan ini dapat diterima, kita akan serempak dapat mengatakan banjir kanal timur merupakan susunan kata majemuk yang tidak tepat. Bukankah kanal berarti saluran sehingga jika kita menggantinya menjadi banjir saluran timur baru terasa kalau susunan kata majemuk ini tidak tepat. Pelestarian bahasa Indonesia sebagai identitas kita tentunya menjadi tanggung jawab setiap orang sehingga kita akan berpikir dahulu sebelum berbicara bukan berbicara dahulu baru berpikir. n

*) PNS Kantor Bahasa Provinsi Lampung
Sumber: Laras Bahasa: Lampung Post,Rabu, 10 September 2008

Bahasa Indonesia Miskin?

Yulfi Zawarnis

BAHASA Indonesia memiliki sifat dinamis dan terbuka. Artinya, bahasa ini setiap saat dapat menerima perubahan dan masukan yang membangun. Masukan yang membangun ini sering datang dari berbagai bahasa, terutama bahasa Inggris dan bahasa daerah.

Perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan pun turut memengaruhi khazanah kosakata bahasa Indonesia. Kita sering mendengar kata teknologi, berkah, madani, sehat, komputer, dan masih banyak lagi yang lainnya.

Kita tentunya menyadari kata-kata itu berasal dari berbagai bahasa yang ada di dunia. Kata "teknologi", misalnya, merupakan kata serapan dari bahasa Inggris technology yang berarti metode ilmiah untuk mencapai tujuan praktis atau bisa juga berarti keseluruhan sarana untuk menyediakan barang-barang yang diperlukan bagi kelangsungan dan kenyamanan hidup manusia’.

Kata madani berasal dari bahasa Arab dan berhubungan dengan Kota Madinah. Kini kata madani digunakan sebagai padanan kata bahasa Inggris civil society. "Masyarakat madani" diartikan sebagai masyarakat yang memiliki peradaban yang tinggi, santun, menjunjung tinggi norma dan hukum yang berlaku yang dilandasi penguasaan iman, ilmu pengetahun, dan teknologi.

Penyerapan kata-kata dari bahasa asing maupun bahasa daerah ke dalam bahasa Indonesia tentunya boleh dilakukan selama sesuai dengan aturan dan kaidah yang ada. Berdasar pada taraf integrasinya, unsur pinjaman dalam bahasa Indonesia dapat dibagi atas dua golongan besar.

Pertama, unsur pinjaman yang belum sepenuhnya terserap ke dalam bahasa Indonesia, misalnya reshuffle. Unsur ini dipakai dalam konteks bahasa Indonesia, tetapi pengucapannya masih mengikuti cara asing. Kedua, unsur pinjaman yang pengucapan dan penulisannya disesuaikan dengan kaidah bahasa Indonesia.

Dalam hal ini diusahakan agar ejaannya hanya diubah seperlunya sehingga bentuk Indonesianya masih dapat dibandingkan dengan bentuk asalnya, misalnya structure menjadi struktur.

Sesuai dengan pedoman Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan, penyerapan istilah asing ke bahasa Indonesia boleh dilakukan jika tidak ditemukan padanannya dalam bahasa Indonesia. Kata laundry, misalnya, tidak perlu diserap karena bisa dipadankan dengan kata binatu. Kata mouse bisa dipadankan dengan tetikus, kata download bisa dipadankan dengan unduh, dan kata workshop bisa dipadankan dengan sanggar kerja.

Bahasa Indonesia sangat kaya. Banyak orang yang terkaget-kaget ketika membuka KBBI dan menemukan kosakata yang tidak lazim mereka dengar. Contoh sederhana adalah aktivitas tangan. Selama ini kita mungkin hanya mengenal beberapa kosakata yang melibatkan aktivitas tangan, misalnya mencolek, memukul, menjitak.

Ternyata khazanah kosakata bahasa Indonesia mengenal banyak sekali aktivitas tangan. Siapa yang kenal istilah arih, bongmeh, dan ceku? Ya, istilah-istilah itu juga merupakan istilah yang digunakan untuk menjelaskan berbagai macam gerak tangan. Bahkan, menurut Dr. Felicia N. Utorodewo ada 238 kata dalam bahasa Indonesia yang menunjukkan "tangan bergiat" atau berbagai macam gerak tangan.

Oleh sebab itu, sangat naif rasanya ketika kita berdalih bahwa bahasa Indonesia miskin kosakata dan memilih mencampuradukkan penggunaan bahasa Indonesia dengan bahasa asing saat berkomunikasi dengan kerabat dan relasi. Ironisnya, tindakan mencampur aduk bahasa ini menjadi kebanggan tersendiri di kalangan tertentu. Lalu, masihkah kita mencintai dan bangga berbahasa Indonesia?

Sumber: Laras Bahasa: Lampung Post,Rabu,6 Agustus 2008

Realitas Cinta Remaja

Erwin Wibowo
Pemerhati Sastra, Alumni Universitas Nasional Jakarta,
Staf Kantor Bahasa Provinsi Lampung


Membaca puisi dari taman-teman di SMA 11 Bandarlampung, kita diajak untuk berjelajah ke dalam dunia remaja. Saat memasuki dunia remaja, kita disuguhkan dengan berbagai macam persoalan yang ada di sekitarnya, seperti masalah pencarian jati diri, kisah cinta sepasang remaja dan persahabatan. Kisah cinta saat remaja selalu membawa kesan yang mendalam bagi seseorang yang menjalaninya, dimana kisah cinta selalu diwarnai dengan kebahagiaan, kesetiaan, pengorbanan, dan kesediahan. Banyak cara para remaja menuangkan pengalamannya tentang cinta, salah satunya dengan menulis puisi. Melalui media puisi, perasaan tentang cinta bisa dituangkan dengan gaya yang berbeda, tergantung suasana hati penulisnya saat menulis puisi tersebut. Seperti Ayu Fitrianingsih dengan karyanya ”Malam Kerinduan”, M. Aldo Kurniawan dengan ”Perjalanan Cinta”, ”Cinta Yang Hampa” karya M. Asep Maulidan dan ”Keajaiban Cinta” karya Ardila.
Puisi ”Malam Kerinduan” karya Ayu Fitrianingsih, saya mendapati perasaan rindu yang besar kepada seseorang yang telah meninggalkannya. Ayu mengajak kita ke dalam realitas ketika seseorang dilanda perasaan rindu yang begitu besar. Pada puisi ini, terlihat bagaimana aku lirik sedang dilanda rindu terhadap kekasihnya, dengan menggunakan media alam seperti Bintang, Bulan, dan Angin, aku lirik mencoba membagi kerinduannya itu. Pemilihan kata yang sederhana namun mempunyai makna yang dalam seperti merindukan, menyinari, salam rinduku, mendambakannya, dan mimpi yang indah, membuat puisi ini sangat romantis.
“Cinta Yang Hampa” puisi yang dituliskan oleh M. Asep Maulidan, mencoba menceritakan bagaimana perasaan cinta yang tak tersampaikan. Patah hati karena wanita pujaanya telah berlabuh ke orang lain. Begitu besarnya keinginannya untu memiliki wanita pujaan akhirnya kandas juga, Sekian lama kumenanti, Kehadiranmu dihati ini, Namun harapan ku ini, Sia-sia belaka. Pada bait ketiga, Aku berharap kau jadi milikku, Namun kau telah dimiliki orang lain, Andai aku tau akan begini jadinya, Mengapa tak ku katakan dulu, kesempatan memang tak datang untuk kedua kalinya, dalam puisi ini terlihat aku lirik ternyata menyianyiakan kesempatan itu. Semua yang tersisa hanya sebatas kenangan, harapan yang tak terwujud untuk mendapatkan kekasih pujaan hati Cinta dan harapan ku selama ini / Jadi sia-sia dan hampa, Kepiluanku pun membuat putus asa. Dalam puisi ini, Asep berusaha untuk menyarankan kepada kita agar jangan terlalu larut dalam kesedihan dan keterpurukan yang lama, dan harus berbesar hati untuk menerima ”kekalahan” adalah suatu sikap yang terpuji.
Puis yang ditulis oleh Asep sepertinya sangat sederhana, dengan menggunakan bahasa yang tidak terlalu bertele-tele, sehingga membuat pembaca tahu maksud yang akan disampaikan oleh Asep.
Aldo Kurniawan, dengan puisinya yang berjudul ”Perjalanan Cinta” mencoba berbagi pengalamannya tentang bangkitnya seseorang dari keterpurukan yang dalam disebabkan oleh cinta, hal ini terlihat pada bait ombak menghapus pedih, Setapak demi Setapak, dan Berjalan demi indahnya. Keyakinan yang besar bahwa semua yang dijalani Aldo akan berjalan dengan indah, ditunjukan dalam lirik berikut Langkah raguku / setapak demi setapak / berjalan demi indahnya / menjemputku ditepian. Pemilihan diksi yang bagus, terlihat dengan penggambaran dengan menggunakan metafora seperti ombak yang menggapus pedihnya, dalam puisi ini ”ombak” dapat dimaknai suatu pencerahan, dan ”dawai” yang mengalun dengan merdu, menjanjikan suatu cinta yang baru. Akan tetapi, pada bait terakhir keputusasaan telah menghampiri Aldo, setelah ia lelah dengan semua yang telah ia perbuat dan jalani untuk mencari cinta yang baru dalam dirinya Lelah terasa aku berjalan / Mungkin saatnya / Aku berlari menyusuri / Manisnya cinta yang lama. Rupanya pencariannya terhadap cinta yang baru, tidak seperti yang diharapkannya.
“Keajaiban Cinta” puisi yang ditulis oleh Ardila, mencoba menjelaskan tentang bagaimana keajaiban cinta itu adanya, keajaiban cinta yang hanya bisa dirasakan oleh dua orang yang saling mencintai dan menyayangi. Mungkin kamu mampu membawa cintaku / Cintaku yang tertanam dalam / Hatimu yang akan tumbuh / Menjadi kasih sayang, pada bait ini Ardila mencoba mengetengahkan pengharapan yang besar terhadap pendamping hidupnya nanti, pengharapan agar bisa mengarungi hidup berdua selamanya, dan hal itu pula dikuatkan dengan pemilihan kata ”mungkin” pada pembuka puisi ini. Kata ”mungkin” dapat dimaknai dengan hal yang diinginkan oleh ardila tercapai atau sebaliknya.
Pada bait kedua, saya mendapati sesuatu yang menjadi pertanyaan besar Bila aku mati membawa cintaku / Bila kamu membawa cintaku / Itulah sesungguhnya arti / Sebuah cinta yang kekal. Apa benar bentuk cinta yang kekal adalah seperti yang ditawarkan ardila dalam puisinya?
Puisi-puisi yang ditulis oleh teman-teman SMA 11 Bandarlampung ini sangat menarik, masing-masing mempunyai cara untuk menguangkan perasaan mereka terhadap cinta. Ide-ide mereka sangat lancar dalam menuangkan ”perasaan hati” masing-masing sehingga pesan dalam puisi mereka tersampaikan dengan baik. Dalam hal pemilihan diksi, sepertinya teman-teman harus lebih banyak membaca karya sastra, agar puisi teman-teman nantinya mempunyai karakter tersendiri. Terus berkarya. Salam Budaya.


Malam Kerinduan

Bintang ...
Dengarlah suara hatiku
Yang merindukan dia

Bulan
Berilah cahaya terangmu
Untuk menyinari malamnya

Angin malam
Bawalah salam rinduku padanya
Katakanlah aku merindukannya
Katakanlah aku mendambakannya

Wahai malam
Iringilah ia hingga terlelap
Berilah mimpi yang indah
Untuknya

Dan lelapkanlah aku
Agar aku bisa melihatnya
Dalam setiap mimpi indahku


Karya: Ayu Fitrianingsih
Kelas: X2


Perjalanan Cinta


Kuberjalan ditepi pantai
Terhembus ombak menghapus pedih
Mengalun dawai menggores hati
Menjanjikan aku dibunga cinta

Langkah raguku
Setapak demi setapak
Berjalan demi indahnya
Menjemputku ditepian

Perih terasa kujalani
Di bebatuan tajam dan curam
Hingga ku terhempas di duri
Yang siap menghadang

Lelah terasa aku berjalan
Mungkin saatnya
Aku berlari menyusuri
Manisnya cinta yang lama

Karya: M. Aldo Kurniawan
Kelas: X2


Cinta Yang Hampa

Sekian lama ku mencari
Cinta dan kasih sayangmu
Telah sekian lama sayang ...
Namamu aku pahat
Dihati ku ini

Sekian lama kumenanti
Kehadiranmu dihati ini
Namun harapan ku ini
Sia-sia belaka

Aku berharap kau jadi milikku
Namun kau telah dimiliki orang lain
Andai aku tau akan begini jadinya
Mengapa takku katakan dulu

Cinta dan harapan ku selama ini
Jadi sia-sia dan hampa
Kepiluanku pun membuat putus asa

Sayang ...
Kini telah kurelakan keputusanmu
Semoga kau bahagia bersamanya
Mungkin hanya itu satu harapanku untukmu

Karya: M. Asep Maulidan


Keajaiban Cinta

Mungkin kamu mampu membawa cintaku
Cintaku yang tertanam dalam
Hatimu yang akan tumbuh
Menjadi kasih sayang

Bila aku mati membawa cintaku
Bila kamu membawa cintaku
Itulah sesungguhnya arti
Sebuah cinta yang kekal

Isi dunia ini mengawalkan
Dari cinta, kasih yang tulus
Mengabadikan cinta, cinta
Yang abadi tidak akan hilang

Keajaiban cinta membawa
Kita ke surga, untuk
Selamanya kekayaan cinta
Akan membawa kebahagiaan

Karya: Ardila
Kelas: X2

Pesan Dalam Puisi

Yulfi Zawarnis, pemerhati sastra


Perjalanan seorang sastrawan, seringkali berangkat dari kekaguman bahkan kejenuhannya terhadap dunia sekitar. Dari kekaguman atau kejenuhan itulah kerap tercipta kaya-karya yang baik. Bagi seorang sastrawan tentunya bukan penilaian baik atau burukny karya yang mereka pedulikan, tetapi bagaimana mereka memperoleh kepuasan batin atas karya-karya yang mereka hasilkan. Namun demikian, seorang sastrawan tentunya juga senang ketika karya yang mereka hasilkan dapat dinikmati dan diapresiasikan dengan baik oleh orang lain.
Setiap penikmat karya sastra, khususnya puisi, memiliki cara tersendiri dalam mengapresiasikan dan menafsirkan karya yang dibacanya. Saini K.M. menuliskan bahwa seorang penyair mendekati objek atau sumber rangsangannya dengan seluruh pribadinya, yaitu seluruh daya, sifat, pikiran, perasaan dan khayalannya. Hal ini diungkapkan dengan kata yag bersifat konotatif. Artinya kata-kata dipilih dan diletakkan demikian rupa dalam suatu karya sehingga tidak saja pengertiannya yang tampil, tetapi juga perasaan-perasaan, asosiasi-asosiasi khayal yang ada dalam kata-kata itu. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika puisi yang sama dimaknai berbeda oleh penikmat yang berbeda.
Membaca puisi-puisi Akbar, siswa Perintis 2 Bandarlampung, nuansa bahasa yang konotatif ini sangat terasa. Hal ini membuat saya merasakan adanya absurditas yang kental ketika membaca puisi. Pada puisi ”Menanam” misalnya, Ada/Hancur yang tidak pernah tidur. Berhenti pada baris kedua ini masih sulit menemukan pesan yang ingin disampaikan penyair. Eksistensi, mungkin itulah maksudnya. Akan tetapi, absurditasnya mulai mencair memasuki bait berikutnya. Bagaimana kami dapat membunuh/Sementara kami lupa cara untuk membenci. Pada bait ini saya melihat Akbar memunculkan sisi kemanusiaan yang sangat agung. Manusia yang seolah tanpa sisi buruk, jangankan untuk membunuh, untuk membenci saja mereka tak punya kuasa. Dalam puisi ini, saya melihat religiusitas yang syahdu yang disajikan oleh penyair. Alangkah damainya dunia dengan kondisi seperti ini.
Agaknya memang tema ketuhananlah yang ingin disajikan Akbar dalam keseluruhan puisi yang disajikannya kali ini. Terlepas dari semua itu, membaca puisi-puisi Akbar tidaklah terasa seperti membaca karya siswa yang baru saja menulis puisi. Rangkian kata yang harmonis dan isi yang penuh makna membentuk satu kesatuan yang indah. Sangat terasa bahwa Akbar menghasilkan karyanya lewat perenungan yang mendalam tentang hakikat kehidupan.

Dalam puisi ”Batas” misalnya. Seekor angsa /Terbang dengan sayapnya yang rapuh /Terluka /Di siang yang hujan. Lalu ia Mati./Ia tetap mati walaupun tidak ada yang mengamati/. Akbar tentunya tidak asal memilih metafor angsa untuk mewakili ide yang ingin disampaikannya. Tentunya ada pengalaman, perenungan, atau mungkin pengamatan terhadap sosok angsa ’sejenis unggas yang terlihat kokoh dan indah tapi sebenarnya memiliki banyak kekurangan’. Angsa tidak bisa terbang tinggi, walaupun tubuhnya memiliki sayap, dan lebih menyedihkan ketika angsa itu terbang dengan sayapnya yang rapuh dan dalam kondisi yang terluka. Keadaan seperti ini kerap kita temukan dalam kehidupan manusia. Akbar menyajikannya dengan bahasa yang indah yang membuat kita lebih merenungi hakikat kehidupan.
Lain halnya dengan puisi ”Pematung”. Di sini Akbar seakan mencoba menggugat sekaligus memperlihatkan kepasrahan sebagai hamba Tuhan. Akbar degan sadar mengakui bahwa dirinya sebagai objek penciptaan, yang hanya bisa pasrah pada kuasa Tuhan, akan tetapi dibalik kepasrahannya manusia juga memiliki banyak keinginan. Lagi, pada puisi ini kita disuguhi kuatnya imajinasi penyair melalui metafor-metafor yang digunakan. Pada puisi ini, Akbar mengibaratkan sang pencipta sebagai pematung, dan dirinya sebagai objek penciptaan.
Melalui puisi ”Pematung” Akbar membawa kita pada kesadaran betapa lemahnya kita sebagai mahkluk Tuhan. Banyak hal yang ingin kita lakukan, tetapi Tuhan lebih punya kuasa dan kita hanya bisa berharap dan berdoa. Dalam puisi ini pula, Akbar menyisipkan kritik sosial dalam puisinya. Terkadang kita tak mampu berbuat apa-apa menyaksikan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi di sekitar kita.
Pada puisi ”Pagi Sang Pelukis” penyair menyampaikan pencarian hakikat ketuhanan. Pada dasarnya manusia tidak pernah mampu berbuat sesuatu melebihi kekuasaan Tuhannya. Manusia hanya bertindak sesuai dengan takdir Tuhan. katakan soal mimpi/Yang tak sanggup diingat dan dilukis/Oleh perupa /Tentang warna yang tak pernah ada/ Pagi ini kau kembali mengeluh/Mencari warna yang tak pernah tercipta. Melalui bait-bait ini, kita dapat dilakukan manusia. Bahkan untuk mimpi yang seolah nyata, seorang perupa pun tak sanggup melukisnya. Manusia tidak akan pernah bisa menciptakan sesuatu yang tidak diciptakan oleh Tuhan.

Puisi-puisi disajikan Akbar kali ini tentunya sangat menyentuh sisi kemanusiaan kita, selain itu, Akbar cermat dalam menggunakan metafor dan apik dalam menggunakan ide dalam rangkaian kata-kata penuh makna. Hal yang terpenting adalah, puisi-puisi yang disajikannya kali ini sarat dengan pesan moral. Semoga puisi-puisi Akbar terus dipublikasikan sehingga kita dapat terus menikmatinya.


MENANAM

ada
Hancur yang tidak pernah tidur

Kami
Menunggu terlalu percuma
Dari sesuatu yang kekal
mempelajari
Bagaimana kami dapat membunuh
Sementara kami lupa cara untuk membenci

Api yang kami sulut
Sudah membakar jari kaki
perih itu kenangan yang kami tanami bunga


BATAS

Seekor angsa
Terbang dengan sayapnya yang rapuh
Terluka
Di siang yang hujan. Lalu ia Mati.
Ia tetap mati walaupun tidak ada yang mengamati.


PEMATUNG

lihat diriku
aku telah lama menatapmu
waktu sudah jauh meninggalkanmu
aku masih menunggumu
kau cuma duduk diam menutup mata
singkirkan tanganmu yang ternyata hanya bisa
menopang dagu

sentuh kulitku
aku rindu tiap rabamu
luka di jemari kirimu kini kering
kau belum juga melirikku
pahat mulai karat dan tumpul
palu kayu kini merapuh dilahap rayap
mereka berdebu
kau tak juga menyentuhku

selesaikan bentukku
aku bermimpi tentang mata, telinga
bahkan barangkali aku butuh hidung
untuk coba hirup aroma air
kau cuma mengukir mulut yang tidak mampu bersuara
tangan yang tak mengepal
kaki yang tak berdiri

ingat aku
mungkin kau cukup sekejap untuk mengabaikanku
tetapi butuh ribuan tahun bagiku untuk berhenti
menuntutmu, memohon padaMu, melupakanmu

asah kembali pahatmu
gerakan tanganmu
pahat tiap detil bentukku
balut lukamu
agar aku tak menangis ketika kau selesaikan mataku
rapihkan telingaku
supaya aku mampu mendengar jelas
rintih kuda di pekaranganmu
namai aku
maka tak pernah kulupakan namamu

Keseimbangan

hutan rimbun
sesatkanmu dengan hitam
padang pasir luas tenang
juga mengantarmu pada buta
Mawar
Punya duri.
raflesia
kaya warna


Pagi Sang Pelukis

katakan soal mimpi
Yang tak sanggup diingat dan dilukis
Oleh perupa
Tentang warna yang tak pernah ada

Pagi ini kau kembali mengeluh
Mencari warna yang tak pernah tercipta

tiap harimu pikirkan warna
Tak pernah kau mampu goreskan warnaNya
Mimpimu cuma telur
Buah predator
Predator pelahap hari
Predator pemburu akhir

kau telah melukisNya?

Pernahkah kau melukis dirimu?
Aku menamai diriku ‘Hitam’

Mudahnya kau melukis dirimu
Mampukah kau melukis mimpimu?
Tak pernah kulakukan

Siapa pewarna bunga
Hingga begitu indah
Siapa pelukis langit
Hingga tak ada batasnya
Kau dapat melihat
Bisakah kau melukisNya
Sebagai plagiator, bukan predator

Pagimu cepat berlalu
Kau lupakan sesuatu
Yang kuingat predator mulai tumbuh dewasa
Porsi makannya bertambah

Sahabatmu ‘Hijau’ kahilangan
pagiNya
kasihku ‘Putih’ lenyap
dan Tak terkecuali mimpimu semalam


Karya: Akbar Adhitama, XII IPA 1 SMA Perintis 2 B.L
TTL: Jakarta, 30 Juni 1990

Bahasa dan Nasionalisme

Bahasa dan Nasionalisme

*Yulfi Zawarnis

Madras mengingatkan kita pada sebuah wilayah di India selatan yang mayoritas penduduknya berkulit hitam. Nama wilayah ini kembali mencuat di beberapa negara di Asia terkait masalah rasial. Di Medan baru-baru ini masyarakat Indonesia asal Madras India Selatan ini menggelar pesta rakyat untuk merayakan perubahan nama Kampung Keling, yang identik dengan mereka, menjadi Kampung Madras.
Sebuah artikel di media massa ibukota pernah menuliskan bahwa bahasa tidak saja sebagai alat komunikasi, tetapi juga mampu menusuk perasaan dan membuat sekelompok masyarakat merasa tersingkir oleh kesinisan yang terkandung di dalamnya. Lalu apakah kaitannya dengan perubahan nama Kampung Keling menjadi Kampung Madras? Menurut tokoh warga Tamil di Medan, sejatinya, istilah keling merujuk pada kekuasaan raja Kalingga (di India). Kamus Besar Bahasa Indonesia mencatat istilah Keling diartikan sebagai orang berkulit hitam yang berasal dari India sebelah selatan. Istilah keling bertukar menjadi istilah yang menghina sejak pertengahan 1970-an. Perlahan istilah keling mulai diasosiasikan dengan hal-hal yang kurang menyenangkan. Kulit hitam legam lebih ditonjolkan dibandingkan kelebihan yang dimiliki kelompok masyarakat ini. Gaya hidup yang suka bermabuk-mabukan dan premanisme mulai diidentikkan dengan mereka. Atas dasar itulah kemudian kelompok masyarakat ini berinisiatif untuk mengganti sebutan keling menjadi Madras. Perubahan ini tidak saja terjadi di Indonesia, tetapi sampai ke Negara-negara di Asia lainnya yang masih menggunakan istilah keling, seperti Malaysia dan Singapura.
Bahasa memang “organ vital” kemanusiaan, itulah kenyataannya. Pada zaman reformasi, kita masih ingat sekelompok orang yang menolak disebut cina karena menurut mereka istilah itu bernada sinis, menghina, kasar, dan bermakna negatif. Lalu kemudian media massa tidak lagi menuliskan istilah itu dan menggantinya dengan China, Tiongkok, atau Tionghoa. Lalu apa bedanya ketiga istilah ini? Menurut pakar bahasa Mandarin, Dr. Hermina Sutami, kata cina tidak berasal dari bahasa-bahasa negara Cina melainkan dari bahasa Sansekerta, chîna, yang berarti ‘daerah pinggiran’. Kata cina itu sendiri digunakan untuk menamakan negara yang berbudaya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, cina adalah sebuah Negeri di Asia; Tiongkok. Istilah Tionghoa dan Tiongkok ini sudah muncul di Indonesia sejak zaman Presiden Soekarno dan pada masa Presiden Soeharto diganti menjadi cina.
Rasanya menjadi tidak beralasan jika istilah cina dianggap lebih bermakna negatif dibanding istilah china. Bukankah kedua istilah ini sama saja? Hanya saja cina merupakan bahasa Indonesia dan china merupakan bahasa asing. Pun demikian dengan istilah keling yang memang makna aslinya tidak memiliki konotasi yang buruk sedikitpun. Jika kemudian muncul asosiasi yang negatif terhadap kata atau istilah yang bermakna netral, seperti keling dan cina ini, tentunya perlu pertimbangan yang matang untuk menggantinya. Masyarakat kita memang berasal dari berbagai suku dan bangsa, tetapi kita satu dalam Indonesia. Masalah bahasa tidak semata masalah rasa dan anggapan, tetapi juga masalah citra diri, identitas, dan nasionalisme.

Kecermatan Dalam Menulis Puisi

Erwin Wibowo,
Pemerhati Sastra, Alumni Universitas Nasional, Jakarta



Menulis puisi bukanlah hal yang sulit, tetapi juga tidak mudah. Saya yakin setiap orang pernah menuliskan ide maupun perasaannya dalam bentuk puisi. Terlepas dari mutu dan kualitas yang dihasilkan, paling tidak melalui puisi ada ide besar yang ingin diungkapkan oleh penulisnya. Tema-tema yang kerap diangkat menjadi sebuah puisi biasanya berkisar seputar masalah percintaan dan tema-tema kemanusiaan. Bukan hanya sekedar merangkai kata-kata menjadi suatu untaian kata yang indah, tetapi menulis puisi diperlukan juga ‘rasa’ didalamya, sehingga kata yang terangkai mempunyai makna jelas.
Membaca puisi-puisi Leni Marlina “Beku Dalam Kalbu”, “Kosong”, “Celoteh Kacau”, “Tinta Hitam” dan “Luapan Hati” yang terasa pertama kali adalah pemakaian kata yang tidak sederhana, dalam puisi ini Leni memakai banyak metafora dan penuh imajinasi. Pada puisi “Beku Dalam Kalbu” Leni mencoba membawa kita ke dalam suasana kesunyian, kebimbangan, dan ketidakberdayaan seseorang dalam mengarungi hidup. Pada bait pertama Leni mencoba berimajinasi tentang isi hati yang sedang galau, Serumpun hati meraga, menanah, muntah /kebimbangan antara nyata dan dusta / Merontah tak kuasa tertepis kian hari / rapuh dan tak berarti. Ada yang menarik dalam puisi “Beku Dalam Kalbu”, ketika kata meraga, menanah, muntah, dihadirkan beruntun oleh Leni, sehingga pembukaan puisi ini sudah mendapatkan kesan emosional.
Puisi “Beku Dalam Kalbu” setidaknya menghadirkan sebuah kontemplasi pada setiap kata yang dipilihnya. Kata Ruah pada bait keempat, terdapat ketaksaan arti. Kata Ruah dapat berarti melimpah ruah, melimpah atau memanggil. Ruah kata hilang terterpa sabutan angin.
Pemilihan kata yang disuguhkan oleh Leni sudah bisa dibilang baik. Pada puisi “Celoteh Kacau”, setidaknya saya menemukan beberapa pemilihan kata yang baik. Seperti bait Tukasnya untukmu, kata tukas disini dimaksudkan kata ucap atau bilang. Atau seperti kata muncrat pada bait Merah muncrat jadi lukisan berharga. Merah dalam bait ini dihadirkan Leni untuk memberikan maksud hati yang sedang marah. Apalagi dengan pemunculan kata muncrat yang mempunyai arti mengeluarkan cairan dengan deras dan tak terkendali, sehingga bait itu setidaknya mempunyai arti kemarahan yang selalu mewarnai hidup “aku lirik”. Akan tetapi, Leni harus cermat dalam memilih kata yang akan dipakai untuk puisinya, Tapi kau hanya serngitkan dahi. Pada kata serngitkan, mungkin maksud Leni adalah kernyit yang mempunyai arti mengerutkan alis.
Pada puisi “Kosong”, Leni mencoba mengisahkan kegelisahan yang dialami “aku lirik”. Gerak meronta,memaksa ditepis/ salah hidup, salah angan/ dendang kasih hinag terbang/ ufuk tak hirau dan aku terkoyah. Dalam bait ini leni mencoba menghadirkan Sebuah kontemplasi atas sebuah perjalanan hidup yang panjang. Salah hidup, salah angan, sebuah pernyataan tentang jalan hidup yang membawa sebuah keterpukuran.
Sepertinya untuk menjalankan hidup yang lebih baik sepertinya sulit didapat oleh “aku lirik”, didekap penuh ida, tak terasa/ dibelai penuh raga, tapi terhempas/ dalam nada sumbang/ sebuah kehidupan. Mencoba merengkuh hidup dengan sepenuh kasih, tetapi sulit untuk untuk dirasakan, menjalankan hidup dengan sepenuhnya, tetapi malah terbuang.
Pemilihan bunyi, kata, dan kalimat dalam puisi ini sudah cermat sehingga memberikan nilai estetis dan puitis. didekap penuh ida, tak terasa/ dibelai penuh raga, tapi terhempas. Pemilihan bunyi a, e, dan u yang dikombinasikan dengan bunyi d dan g, dapat memberikan kesan kesedihan.
Pada bait ketiga leni masih menjaga kekuatan puisinya dengan pemakaian metafor untuk sesuatu yang ingin disampaikannya menghampa dunia kaca mata maya. Seakan-akan hidup yang dijalani oleh “aku lirik” sedah tidak ada artinya, keinginan untuk menjadi lebih baik hanya menjadi angan-angan belaka.
Lain halnya pada puisi “Luapan Hati” Leni mencoba menghadirkan puisi yang sederhana, tidak dengan metafora, itu terlihat dari pemakaian kata dalam puisinya. Lagi-lagi Leni memberi suatu gambaran hati yang sedang kacau. kata seperti hilang, kosong, kering, rapuh, pahit, manis, asam adalah kata-kata yang sederhana. Akan tetapi, dengan kata-kata itu terlihat jelas bagaimana suasana yang sedang dialami oleh “aku lirik”. Serekat ini puing luluhku. Sepertinya cobaan hidup yang begitu berat sampai “aku lirik” sudah merasa tidak kuat lagi untuk menjalaninya. Pada bait kedua ini, Leni lagi-lagi memakai metafora untuk menyampaikan maksud yang ingin disampaikan. Meradang di tangga-tangga nada sunyi. Meradang yang mempunyai arti menjadi bengkak dan keluar gerah bening. Dalam puisi ini, meradang bisa berarti situasi yang sudah buruk dan tidak tahu kapan akan berakhir.
Secara keseluruhan puisi yang ditulis oleh Leni sudah sangat baik, pemakaian metafora dan pemilihan diksi memperlihatkan bahwa Leni sangat berbakat dalam menulis puisi. Akan tetapi, akan lebih baik jika Leni terus belajar dan membaca karya sastra agar nantinya Leni mendapat banyak pengetahuan untuk menciptakan metafora.


Leni Marlina
SMAN 1 Gadingrejo tanggamus

Beku dalam kalbu

Serumpun hati meraga, menanah, muntah
Kebimbangan antara nyata dan dusta
Merontah tak kuasa tertepis kian hari
Rapuh dan tak berarti

Titisan makna menjulang di umbun jiwa
Mengharap cahaya tertera dalam raga
Menyelubung takkan membendung
Membasah tak kuasa merontah

Cahaya itu dulu membalutku
Tapi kini tak tahu kemana
Rintihan pikir kritis akan dusta
Kata merebah jadi asa paksa

Ruah kata hilang terterpa sabutan angin
Membisu, tak mampu memanggil sinar suci
Hanya beku memapar dalam kalbu
Tuhan tolong ajari aku

By: Leni Marlina

CELOTEHAN KACAU

Hati tercabik
Mereguk sunyi, bimbang dan sepi
Kata tak bermakna
Terangkai dalam bingkai rumit
Terkunci sejenak nadi
Tukasnya untukmu

Tuntas sudah harap bukan tiarap
Karena mati tak tersusun nadi
Elok katamu bersahaja
Merah muncrat jadi lukisan berharga
Jangan disentuh katamu

Tarap-tarap hidup lepas
Masa bodoh dengan aturan tak terlandas
Tanduk-tanduk kesengsaran itu hanya imitasi
Katamu lihai tak permai

Nyaman perut disanggah
Hati merontah tak terasa
“dia tuli” katanya padamu
Tapi kau hanya serngitkan dahi
Tanpa ucap sepatah kata

By: Leni Marlina




TINTA HITAM


Menitik erat tinta hitam
Tinta hitam yang kau guyurkan
Tinta pengkristal luka
Cabik jiwa, merongrong di hati

Penyebar tinta hitam
Hapuskan noda yang terukir ini
Pipiskan bersama sang bayu
Congkel dosa yang merebah dalam nadi

Wahai kau penyebar tinta hitam
Tirai-tirai makna ini telah menggenggam sanubari
Merasuk dalam sumsum nada
Jadi alunan sumbang
Nan menggema di sudut-sudut hati

Wahai kau penyebar tinta hitam
Aku telah rapuh
Terkayah-koyah dalam Lumpur kenistaan
Nan muncul dari setitik tinta hitam
Tak mengertikah kau
Rintih disetiap nafas hidupku…

By. Leni Marlina


LUAPAN HATI

Hilang…
Kosong…
Kering….
Rapuh…..
Gambaran hatiku

Pahit…
Manis….
Asam….
Getir….
Pedih…..
Rasa lukaku….

Serekat ini puing luluhku
Meradang di tangga-tangga nada sunyi
Menunggu…
Dalam luka galauku
Memucuk rangkaian rindu
Dalam kalbu biru



By. Leni marlina

Postingan Lebih Baru Beranda