Blogger Template by Blogcrowds

SELAMAT DATANG DI RUANG KECIL KAMI

Melukiskan Realitas Kehidupan

*Erwin Wibowo


Menulis cerpen adalah menulis pengalaman, baik pengalaman diri sendiri, pengalaman orang lain yang pernah kita ketahui, atau pengalaman diri sendiri dengan orang lain yang kita kenal atau tidak. Menulis cerpen berarti menceritakan kembali tentang apa yang kita lihat dan kita rasakan. Dalam menulis cerpen ide dan imajinasi kita dikembangkan dengan menghadirkan tokoh, membentuk alur, dan menyiasati sudut pandang cerita sehingga tercipta sebuah karya yang enak dibaca dan mendatangkan kesan mendalam bagi penulis maupun pembacanya.

Membaca cerpen “Ikan Asin Bakar” karya Hasti Wuryani, kita disuguhkan dengan tema yang sedikit berbeda dari penulis muda kebanyakan. Hakikat kehidupan dihadirkan Hasti melalui sesuatu yang tak biasa. Sesaat terlintas kisah sepatu butut dalam “Children of Heaven” yang mengisahkan perjuangan hidup seorang anak dari keluarga miskin yang bertahan hidup dengan cinta dan semangat yang dimilikinya. Penulis cerita mengemas dengan apik bagaimana berartinya sepasang sepatu. Sepasang sepatu pula yang dijadikan symbol kemiskinan oleh penulisnya.

Cerpen “Ikan Asin Bakar” karya Hasti Wuryani setidaknya juga mencoba mengangkat kisah yang mungkin tidak terpikirkan oleh orang lain. Cerpen “Ikan Asin Bakar” bukanlah sebuah cerpen yang berkisah tentang cinta kasih sepasang muda-mudi seperti yang kerap diangkat oleh para penulis muda dan penulis pemula, tetapi penderitaan, cinta seorang ayah kepada keluarganya. Dalam cerita ini, ikan asin bakarlah yang dijadikan symbol kemiskinan.

Lalu, bagaimana Hasti mengemasnya menjadi sebuah cerita yang menarik? Dalam cerpen ini, Hasti bercerita tentang keluarga miskin yang hampir setiap hari makan dengan ikan asin bakar. Kemiskinan membuat mereka tidak mampu membeli lauk yang lain selain ikan asin bakar. Hasti kemudian menceritakan bagaimana tanggung jawab seorang ayah untuk menafkahi keluarganya dan menyekolahkan anak-anaknya. Tokoh ayah digambarkan sebagai seorang pekerja keras dan bertanggung jawab. Tokoh utama, Novi, diceritakan sebagai seorang anak yang sabar dan selalu mengalah.

Dikisahkan oleh Hasti, kehidupan keluarganya sangat memprihatinkan. Sebuah keluarga kecil dengan tiga anak yang kehidupan ekonomi keluarganya morat-marit. Sang ayah seorang seorang tukang becak. Si ibu hanyalah ibu rumah tangga biasa yang tidak memiliki penghasilan. Sementara dua anaknya bersekolah dan memerlukan biaya besar. Alhasil, hampir setiap hari, si ayah hanya mampu membelikan lauk ikan asin bakar untuk makan istri dan anak-anaknya. Keadaan semakin parah ketika ayah yang menjadi tulang punggung keluarga meninggal dunia.

Bedanya dengan kisah “Children of Heaven”, Hasti tidak menyajikan bagaimana berjuang untuk mencapai hidup yang lebih baik. Hasti sibuk dengan keluh-kesah tentang hidup yang serba sulit dan memprihatinkan. Sayangnya Hasti tidak melukiskan bagaimana Novi dan keluarganya bertahan hidup setelah ditinggal mati oleh ayahnya. Rasanya akan lebih menarik jika Hasti menyudahi ceritanya dengan memberikan sedikit gambaran bagaimana Novi mewujudkan cita-citanya.

Menulis cerpen bagi penulis muda, pastinya akan menghadapi berbagai kendala. Ide kreatif bisa muncul dengan mudah, tetapi terkadang sulit dikembangkan. Dalam menulis cerpen, banyak hal yang perlu diperhatikan, antara lain alur cerita dan penokohan. Dalam mengembangkan alur cerita seringkali penulis pemula keluar dari konteks cerita yang mereka gambarkan melalui judul. Seringkali pemilihan judul tidak mempertimbangkan keselarasan dengan isi cerita. Judul sering dianggap hanya sebagai pemanis untuk menarik pembaca mengetahui isi cerita lebih lanjut. Walau bagaimanapun, judul cerita seharusnya merupakan gambaran umum isi cerita secara keseluruhan. Oleh karena itu, menentukan judul tidak cukup hanya dengan memilih kata, frasa, atau klausa yang dianggap memiliki daya tarik.

Hal yang perlu diperhatikan juga adalah membuat dialog. Jangan menganggap enteng kekuatan dialog, dialog yang baik akan menghidupkan dan memperkuat karekter tokoh yang dihadirkannya. Ini artinya, cerita yang baik juga ditentukan oleh kecermatan penulis memperlakukan tokoh dan menciptakan dialog. Dialog yang baik, paling tidak, harus bernalar dengan baik, dan tidak membuat pembaca menjadi bertanya-tanya tentang apa maksudnya, seperti contoh dalam cerpen ini ”Memang bukumu kurang berapa, Wi?”, ”Tujuh puluh lima ribu”. Pada dialog ini bisa membuat pembaca bingung untuk memahaminya.”Memang bukumu kurang berapa, Wi?”, mungkin bisa diganti dengan ”Memang kurang berapa uang bukumu, Wi?”.

Hal yang perlu diperhatikan juga dalam menulis puisi adalah bahasa. Bahasa menjadi kekuatan yang sangat berpengaruh dalam sebuah cerpen. Dalam cerpen ”Ikan Asin Bakar”, saya menemukuan beberapa kata yang salah penggunaannya seperti kata bapak, dalam dialog “ya nanti sebelum semester bapak lunasi, yang penting sekarang kamu belajar yang lebih giat, biar hasil ulangannya bagus” titah bapak. Penulisan huruf /b/ pada kata bapak, seharusnya memakai huruf kapital atau huruf besar. Memahami ejaan mestinya menjadi keharusan yang tidak bisa ditawar lagi untuk menjadi seorang penulis profesional. Bahasa tulis akan mudah dipahami jika penulis mampu menempatkan tanda baca dengan tepat. Dengan demikian tidak akan terjadi kesalahan memahami cerita. Yang terpenting tidak membuat pembaca bingung dan bertanya-tanya mengenai isi cerita secara utuh.

Secara keseluruhan cerpen yang ditulis oleh Hasti sudah baik, tinggal pembenahan dan pengasahan Hasti saja. Membaca karya sastra merupakan salah satu cara untuk menggali kreativitas. Seorang penulis pun harus banyak membaca agar kreativitanya terus berkembang. Salam.

Diterbitkan di Radar Lampung, 29 Maret 2009



Ikan Asin Bakar

Ikan bakar…

Lagi-lagi ikan bakar, sudah bosan rasanya, aku ingin menikmati menu yang lain seperti ayam goreng, sate, atau tempe goreng setidaknya. Tapi mau bagaimana lagi bila melihat keletihan dari wajah Bapak, aku tak berani menuntut banyak karena aku tahu penghasilan bapak sebagai tukang becak tidaklaklah pasti.

Sudah satu minggu ini aku, Bapak, Ibu, dan dua adikku kembali harus menikmati ikan bakar yang pasti bukan ikan laut atau ikan sungai yang kami bakar, tapi ikan asin. Walau begini aku bersyukur karena mungkin hanya dirumah inilah aku bisa menikmati ikan bakar ini. Kulihat Doni, adikku yang masih berumur tiga tahun begitu lahap menikmati ikan bakar dengan secentong nasi dipiringnya, saat mata ku tertuju pada Dewi kulihat ada sinar resah yang menghiasi wajahnya, sedang ibu dan bapak seperti biasa menikmati makanan tanpa beban.

Ternyata prediksi ku tentang Dewi tak salah, tak lama setelah kami makan Dewi membuka suaranya.

“Pak, dua minggu lagi dewi ulangan semester, kata guruku, aku harus melunasi uang buku” ujarnya dengan penuh hati-hati

“memang buku mu kurang berapa, Wi?”

“Tujuh puluh lima ribu”

“ya, nanti sebelum ulangan semester bapak lunasi, yang penting sekarang kamu belajar yang lebih giat, biar hasil ulangannya bagus” titah bapak.

“iya pak” jawab Dewi sambil pergi meninggalkan kamar.

Sebenarnya aku juga ingin berbicara dengan bapak, tentang uang SPP yang lusa kemarin sudah kuminta, tapi bibir ku tak mampu berkata saat Ayah dimintai uang dengan Dewi.

Malam ini bintang tak nampak, bulan pun tertutup awan mendung. Yang tersisa hanya rintikan hujan sejak sore tadi. Di luar jendela kamar, dinginya hujan terasa lebih dingin dari hujan biasanya. Tubuh ku masih duduk dikursi, mataku masih menatap buku tulis dimeja tapi pikiranku melayang tak dibuku, melainkan bermain memikirkan bayaran SPP.

Akhir-akhir ini hujan sering kali turun, dan sesering itu pula aku teringat saat bapak mengayuh becak dengan jas hujan yang sudah lusuh. Ayunan kaki tuanya yang gemetar penuh dengan pengalaman hidup membuatku belajar tentang arti berjuang untuk hidup dan menghidupi amanah dari-Nya. Bila melihat goretan di bawah matanya yang menandakan usia nya yang semakin lanjut, membuat ku ingin segera berhenti sekolah sehingga mampu meringankan beban Bapak.

“khuk…khuk…. sepertinya aku akan terserang batuk”

Aku langkahkan kaki ini ke dapur untuk minum air putih, saat keluar kamar kulihat bapak sedang melamun di kursi dekat jendela yang biasa ia duduki untuk melepas lelah. Saat ku dekati, kulihat ada butiran air di antara kerutan pipi tuanya.

“ ada apa pak?” tanyaku pelan

“kamu Nov! Tidak ada apa-apa” jawab bapak terkejut

“tapi kok bapak menangis?”

“oh, tidak apa-apa, sudah sana tidur sudah malam” perintah bapak.

“ sudahlah pak, cerita saja”

“ maafin bapak ya Nov, bapak cuma bisa kasih kamu ikan asin bakar”

ya ga pa pa tho pak, kita kan harus tetap bersyukur dengan karunia-Nya”

“ ya sudah sekarang kamu tidur sana!”

“iya pak…”

Tanpa diperintah lagi aku sudah pergi ke kamar, kulihat Dewi sudah tidur lebih dulu, aku rebahkan tubuhku di samping Dewi, pikiran ku makin melayang memikirkan SPP yang harus segera kulunasi kepala ku rasanya pening, tak tahu aku harus mencari atau meminjam pada siapa. Mungkinkah aku harus mencuri atau bahkan merampok untuk bisa melunasi SPP. Pikiran buruk itu semakin merasuki hingga aku terlelap.

**

Ulangan semester tinggal tiga hari lagi, tapi bapak belum memberi ku uang, padahal aku sudah bilang beberapa minggu lalu. Sore ini ku hampiri bapak yang akan berangkat menarik becak.

“Pak, gimana bayaran ku, aku senin besok sudah ulangan, sekarang sudah mulai ngambil nomor” minta ku dengan hati-hati, lalu ku lihat bapak hanya terdiam

“ya sudah, sebelum semester, empat atau lima hari lagi bapak kasih”

“makasih ya, Pak”

Selanjutnya aku pamit berangkat ke sekolah, kucium tangan Bapak dan Ibu.

“Pak, Bu, Novi berangkat”

Sepanjang jalan aku hanya memikirkan bagaimana aku bisa membayar SPP hingga aku sampai di sekolah.

“Nov mau ngambil nomor ga?” ajak Dhea teman satu bangku ku.

“Duh Dhea maaf ya mungkin aku ngambil nomornya besok, duluan aja!” jawab ku

“Iya deh, aku duluan yah”

Beberapa detik setelah itu Dhea tak terlihat lagi, hati ku makin resah karena Senin sudah ulangan dan hari ini hari jumat. Ulangan ini adalah ulangan ku yang pertama kali di SMUN Merpati, karena aku baru masuk di SMU ini di kelas X 32. sampai di rumah aku beranikan lagi menghampiri bapak.

“Pak gimana? besok hari terakhir aku mengambil nomor, sudah ada belum uang yang tadi pagi ku tanya,” tuturku takut-takut.

Selesai ku berkata, Bapak langsung mengeluarkan dompet hitam dari saku celananya dan mengulurkan lembaran uang lima puluh ribu, dua puluh ribu, sepuluh ribu kepada ku”

Didepan bapak aku, langsung menghitung uang tersebut.

“masih kurang ya nak?”Tanya bapak pada ku, akupun hanya menunduk

“ya sudah, besok bapak ke sekolah mu”

“ga usah pak, nanti Novi coba bicara dengan wali kelas Novi”

Dengan sedikit kecewa aku kembali kekamar

“duh gimana nie?” Tanya batin ini

Diatas kasur ini, aku masih memikirkan sesuatu yang mengganggu otak ku selama satu minggu ini. Aku mencoba mengmbil celengan ayam ku, saat kuangkat bebanya belum terasa berat, bunyi yang terdengar pun hanya suara recehan yang jarang bila ku pecahkan mungkin saja uang nya tak sampai empat puluh ribu, sedang aku masih butuh empat puluh ribu lagi. Karena bayaranku semuanya seratus dua puluh ribu lagi.

“sudahlah, besok harus ku coba menemui Bu Indri” tekat ku

**

Hari ini hari sabtu, sebagian murid sudah jarang yang masuk sekolah, kecuali di loket pembayaran SPP masih banyak anak-anak yang mengantri termasuk aku, setelah puas mengantri ku hampiri Bu Indri wali kelas ku.

“Ada apa nov?” Sapaan hangat Bu Indri mengawali obrolan kami

“begini bu, saya mau minta tolong”

“minta tolong apa?”

Ku tarik nafas perlahan dan mulai berbicara lagi

“begini lho Bu, saya belum ngambil nomor karena bayaran saya kurang satu bulan, nah ibu bisa ga menolong saya ngambil nomor?”

“Ooo, soal nomor, begini Nov kamu ajukan saja surat perjanjian ke TU”

“caranya, Bu?”

“caranya, sekarang kamu datangi kepala TU, ceritakan masalahmu dengan beliau, lalu minta surat perjanjian”

“gitu ya, makasihya Bu”

Tak lama dari kantor, aku sudah duduk dikursi dan berhadapan dengan Pak Wisnu kepala Tata Usaha (TU). Aku jelaskan maksud ku, seperti saat aku jelaskan pada Bu Indri. Dengan wajah tak ramah dan tanpa banyak bicara Pak Wisnu mengeluarkan secarik kertas berbentuk angket yang berisi nama, kelas, jumlah tunggakan dan tanda tangan dan mengulurkanya pada ku.

“isi angket itu, setelah diisi serahkan pada panitia pengambilan nomor, dan kamu bisa mendapat nomor” Makasih ya Pak

“tapi ingat, bila sampai bagi raport kamu belum melunasi tunggakanmu, maka raport mu akan saya tahan”

“baik pak, makasih pak! permisi”

”Huh,” kutarik nafas ini dalam-dalam setelah keluar ruangan itu rasanya aku bisa menghirup oksigen segar, rasa gugup dengan jantung berdegup cepat menemaniku di dalam. Mungkin karna aku masih kelas X, ku tengok ruang kepala TU ternyata masih ada siswa lain yang sama seperti ku.

Ku isi angket itu dan langsung ku serahkan pada petugas TU, dan kini hasilnya secarik kertas berwarna pink, yang bertuliskan kurang lebih no ujian, nama dan tanda tangan kepala sekolah sudah di tangan ku.

“Alhamdulillah, terima kasih ya Allah” syukur ku di batin.

Sampai dirumah, aku ceritakan semua pada Bapak dari awal ku temui Bu Indri hingga raporku yang akan di tahan bila aku belum melunasi BDOP.

Satu minggu sudah aku ulangan semester. Hari sabtu besok, aku sudah bagi rapor, tapi bapak belum juga memberiku uang yang empat puluh ribu lagi.

Sudah jam setengah enam namun bapak belum juga pulang, mungkin karena hujan, mungkin juga karena hari kamis ini adalah hari pasaran, tapi tak sepeti biasanya. Bisanya, walaupun pasaran, jam lima bapak sudah di rumah. Ku tengok dapur hanya ada ibu yang masih membakar ikan asin, sore ini kami harus kembali menikmati ikan asin bakar. Karena harga minyak goring yang kembali naik, selain itu uang dari bapak juga tak cukup untuk membeli minyak goreng.

“Nov, Ibu mu ada tidak?” tiba-tiba Bu Yani tetanggaku datang sambil tergopoh-gopoh mendatangi ku.

“Ada apa Bu? sebentar saya panggilkan ibu dulu, silahkan masuk bu!”

“anu, Nov Bapakmu….”

“Kenapa Bu?” Tanyaku penasaran.

“Anu Nov Bapak mu, keserempet mobil truk di perempatan depan”

Aku yang mendengar berita itu, langsung berteriak

“Ibu…”

Mungkin ini jawaban rasa resah ku sejak tadi, tak lama setelah itu tubuh bapak sudah diangkat orang-orang ke rumah, dan mobil yang menabraknya pun lari. Darah bercucuran di tubuh bapak dan selanjutnya belum sampai dua jam, nafas bapak berhenti. Nyawanya terhempas bersama truk yang hilang dan hujan gerimis yang mulai berhenti.

Tak lama setelah itu juga bendera kuning berkibar di halaman rumah dengan baskom bertutup kain di bawahnya.

Orang-orang mulai sibuk menyiapkan pemakaman untuk bapak, dari memandikan, menyolatkan, hingga penguburan. Sedang aku, Ibu, Doni, dan Dewi masih menangis disamping jenazah Bapak.

Dari cerita yang ku dengar ternyata bapak menjadi korban tabrak lari, saat bapak sedang mengayuh becak, tiba-tiba dari belakang ada mobil truk yang di kendarai oleh supir yang ugal-ugalan, hingga bapak pun tertabrak. Dan hal lain yang membuat ku aneh, ditengah derasnya hujan bapak tak kunjung pulang karena ia ingin mencari uang untuk menebusi rapor ku besok, hingga bapak mendapat pinjaman uang dari Pak Adi tapi sayang di tengah jalan Bapak sudah di panggil-Nya.

Padahal besok aku ingin memberikan kado terbaik untuk Bapak melalui prestasi yang ku raih disekolah.

Saat ini aku tak tahu harus berbuat apa, aku tak peduli dengan raporku yang bisa ku ambil atau tidak, aku juga tak begitu memikirkan dengan tunggakan bayaran BDOP ku.

Tapi aku tahu mulai sekarang, aku sebagai kakak tertua mempunyai tanggung jawab untuk menjaga adikku selain itu, aku juga bertekad dalam diriku sendiri. Meskipun bapak sudah tak ada. Apapun dan bagaimanapun aku harus menyelesaikan sekolah ku. Hingga aku kuliah dan menjadi orang berhasil, karena aku ingin membahagiakan ibu dan adik-adikku. Aku juga ingin melihat mereka dapat menikmati makanan yang lebih nikmat dari pada ikan asin bakar.

Lampung 2007

Biodata Diri

Nama :Hasti Wuryani

Kelas : XII IPA 2

Alamat :Jl Cendana no 153 Tanjungbintang, Lampung selatan

Sekolah : MAN 1 Bandar Lampumg

Personifikasi Sebagai Upaya Menghidupkan Cerita

*Yulfi Zawarnis

Menulis cerpen atau puisi tentunya tidak sekadar menuangkan ide dan pikiran menjadi sebuah cerita. Penulis yang baik tentunya juga berpikir bagaimana kata-kata dirangkai hingga kemudian terbentuk sebuah cerpen yang enak dibaca dan menimbulkan kepuasan bagi pembacanya. Adakalanya sebuah cerpen dibuat sebagai media dakwah, propaganda, atau bahkan kritik sosial yang ditujukan kepada pemerintah dan masyarakat umum.

Cerpen yang berjudul “Pucuk Mentari” karya Athifaturrohmah agaknya dibuat sebagai media dakwah dan kritikan kepada masyarakat tentang keadaan dunia saat ini. Isu pemanasan global sedikit banyak mempengaruhi cerita ini. Lalu saya teringat lagu Ebiet G. Ade /mungkin Alam mulai bosan/ bersahabat dengan kita/yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa// yang mungkin juga menginspirasi cerpen ini. Athifaturrohmah memulai ceritanya dengan mendeskripsikan kesibukan benda-benda dan makhluk-makhluk yang ada di dunia, mulai dari awan, bumi, langit, tanah, dan manusia, yang diwakili oleh buruh.

Awan berarak perlahan. Seperti biasa, ia tunaikan tugasnya mengelilingi bumi yang semakin basah menemani langit yang sering merasa sendiri. Yah, bumi semakin basah karena kering tanah menguap bersama milyaran liter peluh di tubuh kekar buruh. Lalu terguyur jutaan mili hujan yang sudah berkadar asam.

Sedang matahari semakin terik dipandangi mata-mata pendosa yang terkekeh atas maksiat yang terus saja mereka jalani. Matahari tak tahan, lekat tatapan makhluk pendosa itu tertuju padanya seraya mengumbar kenikmatan aurat yang harusnya terbalut kain tebal. Kerling matahari makin tajam detik demi detik.

Dalam kutipan di atas sudah dapat dilihat bahwa penulis memulai ceritanya dengan personifikasi benda-benda yang ada di bumi. Pada paragraf berikutnya penulis memperkuat personifikasi ini dengan memunculkan dialog antara matahari dengan Tuhan.

Panas saja yang ia minta dari Tuhan untuk bumi. Sudah muak matahari melihat milyaran manusia di bumi. Mungkin hanya beberapa saja yang membuatnya bertahan menunai tugasnya. Ah, usai matahari bahkan sudah terlampau ringkih. Awan terkadang ia jadikan alasan untuk istirahat menyinari bumi. “Tuhan… sampai kapan tugas ku akan berakhir?” keluh matahari suatu hati. Namun Tuhan hanya tersenyum saja, “Mau kah kau menjadi hamba-Ku yang taat kepada-Ku?”

Ah, mengapa matahari melupakan itu. Akhirnya, matahari kembali tersadar fitrahnya. Yah, fitrahnya adalah menjadi hamba Tuhan yang taat, mengerjakan apa saja yang Ia titahkan kepadanya.

Personifikasi, pengumpamaan (perlambangan) benda mati sebagai orang atau manusia (KBBI), merupakan salah satu gaya bahasa yang digunakan oleh penulis puisi maupun penulis cerpen untuk membuat karyanya menarik. Agaknya personifikasi ini pulalah yang menjadi kekuatan cerpen Athifaturrohmah sehingga dia bebas berimajinasi untuk “menghidupkan” benda-benda yang ada di dunia ini.

Sederhana, sebetulnya Athifaturrohmah ingin menyampaikan bahwa dunia ini sudah sedemikian bobroknya. Andaikan benda-benda yang ada di bumi ini bisa berbicara, berkeluh kesah, dan menolak kehendak Tuhan, mungkin manusia akan menanggung akibat dari kebobrokan yang diciptakannya sendiri. Namun demikian, penulis tetap mengungkapkan sisi lain dari dunia ini yang masih menyisakan manusia-manusia yang menjadi hamba Tuhan yang taat. Hal inilah yang salah satunya mampu menjadi penyelamat manusia dari kehancuran.

Sebagai penulis pemula Athifaturrohmah sepertinya sangat berhati-hati dalam memilih kata-kata untuk menyampaikan idenya. Kata-kata khusus yang jarang digunakan, oleh Athifaturrohmah dipakai sebagai penguat estetika bentuk. Sebagai contoh, Athifaturrohmah menggunakan istilah “matahari mendongak, matahari membelalak, rembulan menyala, dan kerling matahari”. Belum lagi penggunaan istilah “saga” sebagai upaya penggambaran cahaya matahari yang merah menyala dan penggunaan istilah “konstelasi gemintang” sebagai upaya penggambaran sekumpulan bintang. Terkesan berlebihan, tetapi dapat dianggap sebagai sebuah kelebihan.

Rupanya keasyikan Athifaturrohmah merangkai kata-kata yang indah membuatnya luput memperhatikan kata-kata yang semestinya dibentuk dengan lengkap. Misalnya pada kutipan berikut “Mungkin hanya beberapa saja yang membuatnya bertahan menunai tugasnya.” Dalam cerpen rasanya tidak perlu menghilangkan akhiran –kan dalan kata ”menunai(kan)”. Hal ini malah akan membuat pembaca merasa seolah-olah ada kata yang hilang. Kalau sebuah puisi rasanya memang perlu menghilangkan salah satu unsur kata untuk mengejar keindahan bunyi dan bentuk. Akan tetapi, deskripsi yang lengkap pada sebuah cerpen diperlukan untuk memberikan cerita yang lengkap kepada pembaca.

Secara umum, cerpen Athifaturrohmah menarik dan memiliki ciri khas. Kelemahan yang cukup menonjol yakni pada kecermatan penulis dalam menempatkan tanda baca, seperti tanda titik, koma, dan huruf kapital. Beberapa kalimat juga tidak memiliki subjek sehingga terkesan sebagai kalimat yang belum selesai yang seharusnya bisa digabungkan dengan kalimat sebelumnya. Misalnya pada kutipan berikut,

Matahari mendongak. Mencari-cari keberadaan ruh lelaki itu. Tapi dia tersenyum lagi. Menunduk. Matanya mencari-cari sosok seperti lelaki itu. Lalu tersenyum menatap senja yang sudah siap menjalankan tugasnya.

Senja begitu saga. Rembulan pun sudah menyala. Dan konstelasi gemintang pun sudah bersiap di sebelah utara cintanya.

Semoga Athifaturrohmah semakin produktif dan kreatif menghasilkan karya sastra tanpa berhenti belajar sehingga menghasilkan karya sastra yang semakin bermutu.

Diterbitkan di Radar Lampung, pada tanggal 15 Ferbuari 2009




Pucuk Mentari

*Athifaturrohmah

Awan berarak perlahan. Seperti biasa, ia tunaikan tugasnya mengelilingi bumi yang semakin basah menemani langit yang sering merasa sendiri. Yah, bumi semakin basah karena kering tanah menguap bersama milyaran liter peluh di tubuh kekar buruh. Lalu terguyur jutaan mili hujan yang sudah berkadar asam.

Sedang matahari semakin terik dipandangi mata-mata pendosa yang terkekeh atas maksiat yang terus saja mereka jalani. Matahari tak tahan, lekat tatapan makhluk pendosa itu tertuju padanya seraya mengumbar kenikmatan aurat yang harusnya terbalut kain tebal. Kerling matahari makin tajam detik demi detik.

Panas saja yang ia minta dari Tuhan untuk bumi. Sudah muak matahari melihat milyaran manusia di bumi. Mungkin hanya beberapa saja yang membuatnya bertahan menunai tugasnya. Ah, usai matahari bahkan sudah terlampau ringkih. Awan terkadang ia jadikan alasan untuk istirahat menyinari bumi. “Tuhan… sampai kapan tugas ku akan berakhir?” keluh matahari suatu hati. Namun Tuhan hanya tersenyum saja, “Maukah kau menjadi hamba-Ku yang taat kepada-Ku?”

Ah, mengapa matahari melupakan itu. Akhirnya, matahari kembali tersadar fitrahnya. Yah, fitrahnya adalah menjadi hamba Tuhan yang taat, mengerjakan apa saja yang Ia titahkan kepadanya.

Semangat baru itu ia munculkan kembali. Sulit memang. Tapi tanpa semangat itu, ia tak mungkin dapat bertahan hanya untuk menyinari bumi. Ia sebenarnya lebih senang melihat tetangga-tetangga bumi yang senantiasa bertasbih. Dari Merkurius sampai Uranus, bahkan komet yang sesekali bertemu dengannya bertasbih, bertakbir.

Namun, sebenarnya Ia tidak ingin menyalahkan bumi. Ia tahu, bumi memang memiliki tugas yang sangat berat yang Tuhan titipkan untuknya. Ah, sebenarnya matahari tak menyalahkan bumi. Ya, ia tak menyalahkan bumi sedikit pun. Bahkan, ia menaruh simpati kepada bumi. Lihatlah, walau keadaannya yang kian lama kian ringkih itu. Ia tetap berusaha mengingat Tuhan. Ia bertasbih. Bahkan, yang jarang bahkan sama sekali tidak pernah dilakukan oleh planet-planet lain. Istighfar. Yah, matahari sangat kagum sebenarnya kepada bumi. Ia begitu kuat. Sekali lagi, matahari tak menyalahkan bumi. Bahkan ia sangat simpati kepada bumi. Ah, bumi pun tetap berasabar atas tugasnya. Ada apa denganku? Berulangkali hanya itu yang ia pikirkan

Sore itu matahari tersenyum melihat sesosok lelaki sedang bertasbih di bawah terik dirinya. Matahari menatapnya lekat. “Benarkah manusia seperti itu masih berpijak di bumi.” Matahari heran. Ia melihat lelaki itu membaca al-quran yang selalu ia bawa kemanapun.

“Alhamdulillah… Kau masih memberi karunia panas untuk bumi-Mu ini ya Allah…” begitu ujar lelaki itu setelah selesai membaca al-quran. Terlihat peluh di dahi yang ia hapus dengan tangannya. Matahari terpikat. Bahkan cucu Adam yang satu ini masih bisa bersyukur.

Ekor mata matahari mengikuti langkah lelaki itu. Senyumnya yang lama ia sembunyikan akhirnya tersungging lama di bibir delimanya. Ah, lelaki itu membuat matahari senang.

Langit menunggu senja hari ini begitu lama. Ditatapnya matahari yang terlihat serius. Langit segan menegur matahari. Mungkin sebentar lagi matahari berarak menuju peraduan senjanya. Ah, atau…

Langit tak berani melanjutkan perkataannya.

Senyum matahari menyapa langit, “Siap untuk senja hari ini?”

Langit sedikit terkaget. Tumben sekali matahari terlihat begitu bahagia. “Yah… aku selalu siap. Dengan saga yang kau beri. Sungguh aku sudah merindunya.” Langit membalas senyuman matahari.

Saga senja kali ini terlihat begitu cerah. Begitu penilaian langit. Ia senang sekali. Pasti banyak manusia yang mengagumi kelembutan senja kali ini. Ah, nikmatnya menjadi langit senja.

Langit masih menikmati saganya. Dengan sabar malam menunggui kelam yang akan ia tumpahkan kepada bumi. Malam heran menatap langit senja yang begitu riang.

Namun beberapa saat kemudian langit melihat kelam tertumpah ke bumi. Ah, indah. “Mengapa hari ini ia rasa begitu indah?” pertanyaan yang langit simpan sendiri.

Bulan sebenarnya sudah menemani senja terlebih dahulu.

Matahari begitu bahagia. Bahkan bulan pun tak ketinggalan mendapat sinaran yang lebih terang dari biasanya. Malam ia lalui dengan tasbih yang lebih banyak dari biasanya.

Malam kali ini begitu tenang dan terasa damai.

Matahari melirik bumi. Mata merahnya mencari-cari sosok yang kemarin membuat kebahagiaan padanya. Matanya sedikit terbelalak saat ia teringat harum cucu Adam yang kemarin ia temui. “Ah, di mana dia?” matahari bergumam sendiri.

Di belahan bumi bagian timur.

“Innalillahi… Faqih berpulang ke rahmatullah…” sesosok manusia tercekat matanya melihat jenazah yang telah terbalut kafan terbaring di kelilingi sanak keluarganya.

Matahari masih mencari sosok yang menyelimuti kebahagiaan padanya saat kemarin. Matanya seolah tak kenal lelah tuk hari ini. Ah, matahari sangat merindukan manusia itu.

Bau harum lelaki itu semakin menyengat. Mata matahari tak hentinya mencari dimana sosok lelaki itu. Ah, kini matanya tertuju pada sesakan manusia mengiring jenazah. Mata matahari membelalak. Jenazah itu. Yah, jenazah itu menyerbak wangi yang sedari tadi dicari matahari. Matahari menderu. Gas-gas heliumnya sudah jutaan cc yang terlempar dari kekar tubuh tuanya. Namun tak kuasa ia. Badannya terasa begitu lemas. Tapi, tiba-tiba senyuman merekah dari bibirnya. Yah, dia tersenyum. Mengiring kepergian lelaki yang ia kagumi itu. Ia yakin. Ruhnya telah diangkat para malaikat ke langit cinta.

Matahari mendongak. Mencari-cari keberadaan ruh lelaki itu. Tapi dia tersenyum lagi. Menunduk. Matanya mencari-cari sosok seperti lelaki itu. Lalu tersenyum menatap senja yang sudah siap menjalankan tugasnya.

Senja begitu saga. Rembulan pun sudah menyala. Dan konstelasi gemintang pun sudah bersiap di sebelah utara cintanya.

Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda