Blogger Template by Blogcrowds

SELAMAT DATANG DI RUANG KECIL KAMI


PENDIDIKAN
LARAS BAHASA: Kultum

Erwin Wibowo *)

KULTUM yang merupakan kependekan dari kuliah tujuh menit merupakan kegiatan ceramah yang dilakukan oleh kelompok tertentu dalam forum tertentu.

Biasanya kegiatan ini dilakukan oleh kalangan pelajar dalam organisasi rohis, pegawai kantor ketika mengisi istirahat siang antara pukul dua belas dan pukul satu, atau kalangan profesional lain yang mengagendakan kegiatan ceramah agama pada waktu-waktu tertentu.

Setiap Ramadan kultum tidak hanya dilakukan oleh kelompok-kelompok itu. Kultum diadakan di sebagian besar masjid dan musala.

kultum dilakukan antara salat isya dan tarawih. Materi yang disampaikan biasanya ringan, tapi mengena dan langsung pada pokok persoalan. Berbeda dengan khotbah Jumat atau khotbah hari raya, selama kultum biasanya pemateri tidak banyak mengutip ayat-ayat Alquran atau hadis.

Terkait dengan bahasa Indonesia, kultum merupakan akronim dari kuliah tujuh menit. Entah dari mana asalnya, istilah ini sudah populer di masyarakat sejak belasan atau mungkin puluhan tahun lalu. Mendengar namaya, mungkin orang awam akan berpikiran kegiatan ini memang berlangsung selama tujuh menit.

Namun, kenyataannya tidak selalu begitu. Terkadang pengisi materi dalam kultum kebablasan memberikan ceramah sampai sepuluh menit, lima belas menit, bahkan setengah jam. Meskipun demikian, kegiatan yang sama tidak pernah diberi istilah lain, selalu disebut kultum.

Akronim merupakan kependekan yang berupa gabungan huruf atau suku kata atau bagian lain yang ditulis dan dilafalkan sebagaimana kata yang wajar (misalnya, mayjen: mayor jenderal, rudal: peluru kendali, dan sidak: inspeksi mendadak). Oleh sebab itu, sebuah akronim juga dapat diperlakukan seperti sebuah kata. Artinya, sebuah akronim dapat diulang, diberi imbuhan, atau diberi kata depan.

Akronim dalam bahasa Indonesia yang terkait dengan waktu, biasanya merujuk pada sebuah peristiwa atau kejadian besar, misalnya peristiwa malari (peristiwa yang terjadi lima belas Januari) dan gestapu (gerakan yang terjadi pada 30 September).

Entah karena ketidaktahuan, sampai kini saya belum menemukan akronim bahasa Indonesia yang terkait dengan pembatasan waktu, selain kultum.

Uniknya, meskipun penamaannya menggunakan pembatasan waktu, kenyataannya pembatasan waktu itu tidak mutlak.

Kosakata bahasa Indonesia yang terkait dengan pembatasan atau rentang waktu biasanya bukanlah berupa akronim, misalnya ngabuburit, kata turunan dari burit (sore), yang merupakan adopsi dari bahasa Sunda, yang berarti menunggu azan magrib menjelang berbuka puasa pada waktu Ramadan.

Sepagian sepanjang pagi merupakan kata turunan dari pagi.

Dalam perkembangan bahasa Indonesia dikenal berbagai gejala kebahasaan yang memengaruhi eksistensi sebuah kosakata. Gejala perluasan dan penyempitan makna, misalnya, merupakan salah satu bentuk gejala kebahasaan yang menjelaskan perubahan makna sebuah kata seiring dengan perkembangan waktu.

Agaknya istilah kultum ini merupakan salah satu contoh gejala perluasan makna yang kasusnya terjadi pada akronim.***

Rabu, 30 September 2009

* Staf Kantor Bahasa Provinsi Lampung

RUBRIK ini terselenggara atas kerja sama Lampung Post dan Kantor Bahasa Provinsi Lampung. Redaksi menerima tulisan, maksimal 5.000 karakter, dikirim ke Lampung Post, Jalan Soekarno-Hatta No. 108, Rajabasa, Bandar Lampung, atau melalui surat elektronik ke redaksilampost@yahoo.com atau ke Kantor Bahasa Provinsi Lampung, Kompleks Gubernuran, Jalan Beringin, Bandar Lampung. Tulisan yang dimuat akan diberi honorarium.

LARAS BAHASA: Bom

Yulfi Zawarnis*

ONOMATOPE atau peniruan bunyi merupakan salah satu gejala bahasa yang dapat menjadi salah satu alat terbentuknya kosakata. Kokok dan cicit merupakan contoh kosakata yang terbentuk karena gejala bahasa yang disebut onomatope. Dalam lingkup yang lebih luas, kita mengenal kosakata "bom" yang juga merupakan salah satu kosakata yang terbentuk karena gejala onomatope.

Bila ditinjau dalam KBBI, kata "bom" berarti senjata yang bentuknya seperti peluru besar yang berisi bahan peledak untuk menimbulkan kerusakan. Secara etimologi, kata "bom" muncul sebagai akibat peniruan bunyi dari suara yang ditimbulkan oleh ledakan tersebut.

Kata "bom" memiliki beberapa kata turunan, baik yang diturunkan dari bahasa Indonesia maupun yang diturunkan dari bahasa asing, yakni bahasa Inggris. Turunan kata "bom" dalam bahasa Indonesia, di antaranya, mengebom--melemparkan (menghancurkan dengan bom), pengebom--orang atau pesawat yang mengebom, alat untuk mengebom, pengeboman--penyerangan (penghancuran dsb.) dengan bom; proses, cara, perbuatan mengebom.

Ada juga kosakata bahasa Indonesia yang sepertinya terkait dengan istilah "bom", padahal tidak memiliki keterkaitan sama sekali. Kalaupun ada, pastilah itu merupakan pengaitan yang dipaksakan. Kita tentunya tahu istilah "bombastis". Kosakata ini tak ada kaitannya sama sekali dengan bom. Dalam KBBI, bombastis berarti banyak berjanji, tetapi tidak akan berbuat; banyak menggunakan kata dan ucapan yang indah-indah serta muluk-muluk, tetapi tidak ada artinya; bersifat omong kosong; bermulut besar.

Kata turunan bom dalam bahasa Inggris yang sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia, di antaranya bomber, yaitu pesawat terbang pengebom, bombardir artinya mengebom, dan bombardemen yang berarti pengeboman. Istilah yang terakhir ini tidak banyak yang menggunakan, entah karena ketidaktahuan atau karena memang lebih suka menggunakan istilah pengeboman. Bila kita cermati lebih jauh, turunan kata "bom" yang diserap dari bahasa Inggris sering tidak tepat penggunaannya.

Meledaknya bom di Hotel Ritz Carlton dan J.W. Marriot serta penangkapan seseorang yang diduga merupakan salah satu pelaku pengeboman di Temanggung dan Bekasi memopulerkan kosakata bomber. Entah disengaja atau tidak, penggunaan istilah bomber ini digunakan oleh banyak media massa di Indonesia. Bila kita kembali pada makna kata bomber dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), saya yakin, semua orang setuju bahwa penggunaan kata bomber selama ini masih salah kaprah.

Mungkin saja kesalahan ini terjadi karena dalam bahasa Inggris, kata kerja atau kata benda yang diberi akhiran -er akan berubah menjadi kata benda yang merujuk pada orang, semisal singer, writer, teacher, dan driver. Bila ditelusuri maknanya berdasarkan konteks kalimat, penggunaan istilah pengebom lebih mudah dipahami dan lebih taat asas karena bomber tidak merujuk pada orang yang melakukan, tetapi merujuk pada alat.

Kesalahkaprahan penggunaan istilah tertentu yang diserap dari bahasa asing sering terjadi karena pengguna bahasa tidak tahu persis asal kosakata yang digunakan itu. Apakah kosakata itu diserap kata dasarnya ataukah merupakan kosakata yang sudah diserap utuh dari kata turunannya. Ini pula yang menyebabkan mengapa banyak pengguna bahasa yang lebih sering menggunakan standarisasi dan legalisir alih-alih standardisasi dan legalisasi.***

* Staf Kantor Bahasa Provinsi Lampung


terbit di Lampung Post, 9 September 2009

Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda