Blogger Template by Blogcrowds

SELAMAT DATANG DI RUANG KECIL KAMI

Menulis Puisi Dengan Hati

Erwin Wibowo, Staf Pembinaan, Kantor Bahasa Provinsi Lampung

Puisi merupakan salah satu media yang digunakan oleh penyair untuk menuangkan ide dan perasaannya. Setiap penyair mempunyai cara dan gaya tersendiri dalam menuangkan ide dan perasannya itu, yang salah satunya dapat dilihat melalui bentuk dan amanat yang ingin disampaikannya. Setiap puisi mengandung amanat tersendiri dari penyairnya. Dalam hal ini ada penyair yang secara sederhana menggambarkan idenya, tetapi ada pula yang agak tersembunyi sehingga memerlukan pengkajian dan analisis yang tepat. Oleh karena itu, ada puisi yang amanatnya tidak sampai kepada para pembacanya karena pembahasan dan penalarannya kurang tepat. Sebaliknya, ada pula puisi yang mudah diterima, dipahami, dan ditentukan apa amanat yang ingin disampaikan penyair.

Namun demikian, tak dapat dipungkiri, gaya bahasa yang digunakan penyair dalam merangkai puisinya memiliki peranan penting dalam menentukan ketersampaian ide dan keindahan yang dihasilkan sebuah puisi. Gaya bahasa yang digunakan seorang penyair akan mempengaruhi kesan yang ditangkap pembaca terhadap sebuah puisi, sekaligus juga menjadi penentu kualitas puisi tersebut di mata pembaca dan penikmat puisi.

Membaca puisi-puisi Meita Pratiwi, kesan pertama yang saya dapat adalah hamparan kata-kata yang bermetafora. Beberapa puisi Meita masih mengangkat tema percintaan, tema yang banyak diangkat oleh penulis muda. Puisi Meita terasa berbeda karena dia banyak menggunakan metafora. Metafora yang digunakan Meita inilah yang memberi kesan tersendiri terhadap puisi-puisinya.

Metafora adalah salah satu cara penyair untuk mengemukakan maksud yang akan disampaikannya. Metafora berasal dari kata meta dan phoreo yang berarti ‘bertukar nama’ atau ‘perumpamaan’. Metafora adalah majas perbandingan langsung, yaitu membandingkan sesuatu secara langsung terhadap penggantinya. Penggunaan metafora pada puisi tidak hanya menimbulkan kesan yang berbeda, tetapi juga dapat menimbulkan keindahan bunyi pada setiap lariknya.

Pada puisi “Aku Tak Ingin Awan Itu Kelabu”, metafora yang digunakan oleh Meita sangat baik sehingga puisi ini memiliki kekuatan di dalamnya. Puisi ini bercerita tentang kerindunan akan seseorang yang memberikan cinta yang tulus. Bagai awan kelabu yang datang kala siang // menutup kecerahan dan menutup keindahan // hanya menjejakan gelap, pembukaan puisi ini sangat menarik, Meita membukanya dengan metafora awan kelabu di kala siang. Metafora ini menjadi pelambang sesuatu yang di luar harapan. Siang sebagai penanda kecerahan dan keceriaan berkontradiksi dengan awan kelabu. Metafora ini disajikan Meita untuk menggambarkan suasana hati yang tak menentu, suasana hati yang tak bahagia. Pengharapan untuk mendapatkan cinta yang tulus, diungkapkan dengan baik oleh Meita dengan metafora, Aku tak ingin kasih yang dipalsukan.

Pada puisi “Bunga Mawar Yang Aku Lupakan”, Meita menawarkan suatu puisi yang menarik. Puisi tentang cinta yang dikemas sedemikian rupa sehingga menjadi puisi yang menarik. Pada puisi ini Meita masih meghadirkan metafora sebagai penggambaran yang ia maksudkan. Seperti penggunaan metafora dalam puisi ini, sudah cukup aku menghirup candumu // kamu memberiku awan kelabu. Kata candumu, disini seakan-akan menegaskan bahwa si Aku lirik sedang berada di dalam pengaruh kekasihnya. Pada puisi ini Meita bercerita tentang bagaimana kisah cinta yang telah terjadi dengan penuh kebohongan dan tidak berdasarkan cinta, Sudahlah hentikan semua bualanmu tentang cinta // apalagi rindu yang kamu tahan sepanjang waktu // karena aku tahu itu hanya dusta belaka.

Lain halnya pada puisi “Cahaya Yang Ada dan Tiada”. Awalnya membaca puisi ini, agak sedikit bingung, maksud yang akan disampaikan oleh Meita. Puisi ini masih mengangkat tema seputar cinta. Awal puisi ini sangat indah, susunan kata-kata yang sederhana, terrangkai dengan begitu bagusnya. Akan tetapi, agak sedikit permasalahan pada puisi ini pada bait ketiga, Ya Tuhan, beri aku senjata untuk menghadapimu, akhiran –mu pada kalimat ini, dan pada baris terulang pada baris selanjutnya, membuat saya bertanya. Siapa –mu pada konteks itu. Jika membaca menyimak pada baris pertama, akhiran –mu, pada kata menghadapimu, seharusnya ditulis menghadapi-Mu, karena akhiran –mu, sebagai kata ganti Tuhan. Akan tetapi, jika kembali menyermati puisi ini mungkin akhiran –mu, jika saya boleh kasih saran diganti dengan akhiran –nya, menjadi menghadapinya, dan seterusnya.

Ada yang berbeda dari kumpulan puisi-puisi Meita, pada puisi “Pengakuan Sang Anak Autisme”, pada puisi ini Meita mencoba melukiskan perasaan seseorang yang mempunyai penyakit autis. Pada bait pertama, Meita mencoba melukiskan bagaimana sosok manusia yang dibilang autis. orang-orang bergerak seperti boneka // tapi sesungguhnya, yang benar-benar bergerak adalah aku, baris ini menggambarkan bagaimana salah satu sifat seseorang yang menderita autis, adalah kesulitan untuk beradaptasi dengan lingkungan sekitar.

Penggunaan metafora yang baik membuat puisi ini mempunyai kekuatan tersendiri, bait kedua puisi ini. Mataku sudah kering // jadi untuk apa aku meneteskan air mata? //menangisi takdir //membenci Tuhan // menghujat alam // menangisi kelahiran, hidup harus terus berlanjut, penyesalan tidak akan menghasilkan apa-apa.

Puisi-puisi yang disajikan oleh Meita sangat baik. Hamparan metafora, dengan diikuti penyusunan dengan baik, membuat puisi-puisinya sangat bermakna. Meita sepertinya sadar betul, dengan penggunaan bahasa dengan baik, jarang saya temukan pemakaian kata yang salah. Sebagai penulis muda, Meita terbilang sudah mahir memainkan kata-kata. Akan tetapi, tidak salah jika Meita harus tetap belajar, membaca karya sastra sehingga mendapatkan pengetahuan yang lebih.


Diterbitkan di Radar Lampung, 7 Maret 2010


Pengakuan Sang Anak Autisme

Matahari bersinar terik menyilaukan mata

angin terasa kering dan panas, tapi keringat di tubuhku terasa dingin

orang-orang bergerak seperti boneka

tapi sesungguhnya, yang benar-benar bergerak adalah aku

benarkah aku bergerak?

mengapa tubuhku berlari, tetapi hatiku mati rasa?

kenapa kaki yang tanpa alas ini tidak merasakan kerikil tajam yang menusuk telapakku?

Mataku sudah kering

jadi untuk apa aku meneteskan air mata?

menangisi takdir?

membenci Tuhan?

menghujat alam?

menangisi kelahiran?

tubuhku seolah melesat terbawa angin mengikuti langkah kaki kemana aku mau

tidak ada keinginan serasi antara otak, tubuh, dan hatiku

semuanya salah, salah, salah, dan tidak ada yang benar

aku diombang-ambing oleh nasib dan tidak ada yang berbaik hati padaku

tubuhku hanya sekedar jasad, tidak merasakan apa-apa

tetapi hatiku berulang kali diperkosa

Ya Tuhan, mengapa Kau berikan cobaan di luar kemampuanku?

Kakiku membawaku ke tepian Sungai Way Seputih

airnya tampak jernih dan kilaunya menari-nari

aku segera melompat ketika sungai itu memanggilku

aku akan membiarkan air itu menyelimutiku

aku ingin tidur, aku sangat lelah

tak aku hiraukan suara-suara beriak di luar sana

aku merasakan air itu membekukan tubuhku

dalam bayangan, tampak ayah dan ibuku menyongsong di atas sana

Aku Tak Ingin Awan Itu Kelabu

Bagai awan kelabu yang datang kala siang
menutup kecerahan dan menutup keindahan
hanya menjejakkan gelap

aku tak ingin kau menjadi seperti awan kelabu
hanya meninggalkan kepalsuan

untuk keinginanmu akan sekeping hati milikku
aku tak ingin kasih yang dipalsukan

aku ingin indahnya kejujuran seperti indahnya siang

tetapi sekarang aku pun juga mengerti

jika aku memiliki cinta

aku tidak akan benar-benar mengerti dan memahami kehadirannya

sampai aku telah kehilangannya


Bunga Mawar Yang Aku Lupakan

Sudahlah hentikan semua bualanmu tentang cinta

apalagi rindu yang kamu tahan sepanjang waktu

karena aku tahu itu hanya dusta belaka

sudah cukup aku menghirup candumu

kamu terlanjur memberiku awan kelabu

dimana air mataku menjadi tetes hujannya

belum cukupkan semua itu?

tetapi apa pedulimu?

kamu hanya bisa meminta maaf dan menghilangkan jejak

seolah-olah kamu takut menghadapi sidang janjimu..

aku adalah aku

aku adalah aku meski tanpamu

tiada guna mengenangmu jika kamu tidak pantas untuk aku kenang

bagiku kamu hanya seperti air hujan

yang jatuh dan meresap di tanah..

Cahaya Yang Ada dan Tiada

aku menghitung hujan dan setiap daun yang berguguran

teringat perjumpaan pertama denganmu

tak ada rasa yang mampu terucap, kecuali kembangan senyum

hangat menerpa dan terkenang setiap saat

aku mengenangmu

bagaimana kamu berjalan

saat kamu berkata, kamu tidak berani menatapku

suaramu lembut, bibirmu bergetar

aahhh, aku tak yakin ini firasat cinta

tetapi mengapa selalu ada keajaiban di antara aku denganmu

Ya Tuhan, beri aku senjata untuk menghadapimu

beri aku tameng untuk menjagamu

menjaga cintaku, menjaga asaku yang terancam padam

aku menyukaimu, hanya menyukaimu

tidak sampai ingin memilikimu

ingin mendekatimu tapi takut kehilanganmu

Ya Tuhan, aku menggila dalam khayalanku bersamamu


Nama : Meita Pratiwi

No : 2793

TTL : Bandar Lampung, 20 Mei 1992

Alamat : Jl. Urip Sumoharjo Gg Sungai 8

Siswi SMA Al Azhar 3 Bandar Lampung (kelas XII IPS 2)


Pesan Terakhir Dalam Cerpen

Erwin Wibowo, Staf Pembinaan, Kantor Bahasa Provinsi Lampung

Menulis cerpen bukan pekerjaan yang sulit, tetapi juga bukan pekerjaan yang mudah. Pada dasarnya, seorang penulis cerpen hanya memerlukan kepekaan terhadap lingkungan dan sedikit kreativitas untuk mengolah kata-kata. Seorang penulis cerpen pastlilah menghasilkan karya berdasarkan situasi yang dilihatnya, dirasakan, atau mungkin dialaminya. Oleh karena itu, tema yang diangkat dalam sebuah cerpen biasanya tidak jauh dari hal keseharian kita, cinta, kebencian, kasih-sayang.
Kesuksesan penulis cerpen dalam menghasilkan karyanya bergantung pada cara penulis itu menghadirkan tokoh, membentuk alur, dan menyiasati sudut pandang cerita sehingga tercipta sebuah karya yang enak dibaca dan mendatangkan kesan mendalam bagi penulis maupun pembacanya.
Membaca cerpen “Surat Terakhir Ita” karya Hasti Wuryani, kesan pertama yang saya dapat adalah penyesalan yang dalam dari seseorang yang ditinggal pergi oleh sahabatnya. Cerita ini bermula dengan kisah persahabatan antara Ita dan Rina. Persahabatan mereka yang sudah terjalin dua tahun lamanya sangat memberi warna kepada mereka. Akan tetapi, persahabatan mereka masih diwarnai ketidakjujuran dari Ita. Diam-diam Ita mengonsumsi narkoba sehingga membuat nyawanya terengut. Bukan hanya itu, persahabatan yang mereka jalin juga ternodai dengan kehadiran seorang lelaki yang sama-sama mereka idamkan.
Cerpen “Surat Terakhit Ita” berangkat dari ide yang sederhana, persahabatan yang dibumbui kisah cinta dan sedikit konflik yang sederhana pula. Tema yang diangkat Hasti dalam cerpennya ini umum dialami oleh remaja zaman sekarang, sehingga untuk memahaminya tidak diperlukan ketekunan yang mendalam untuk membacanya. Menarik, cerita ini menarik karena menggambarkan kondisi psikologis remaja yang masih labil, sehingga sulit mengendalikan emosi mereka yang “meledak-ledak”.
Pembuka cerpen ini cukup menarik karena Hasti mencoba menghadirkan sosok Ita yang sudah meninggal “Baru semalam Ita memberikan jam tangan yang kini melingkar di pergelangan tangan ku. Baru kemarin Ita tersenyum sambil berkata “aku bersyukur memiliki sahabat seperti mu” dan baru pagi ini ia meninggalkan ku untuk selamanya dengan sebab yang sungguh sulit ku terima. Kepergianya membuat ku tak pantas menyandang sebutan sahabat dari bibirnya. Kepergian yang tak pernah ku ingin bahkan tak pernah terfikir oleh ku Ita akan melakukanya. Hati ini rasanya tercabik, air mata tak habis kekeringan selalu saja mengalir. Kematian yang sulit ku terima sebab tak ada yang tahu tentang kematianya.”
Alur kilas balik yang dihadirkan Hasti ini akan membuat pembaca penasaran untuk mengetahui kelanjutan cerita.Selain alurnya yang menarik, dalam cerpen ini Hasti tidak melibatkan banyak tokoh, sehingga pembaca hanya akan terfokus pada tokoh Rina dan Ita yang menjadi penentu jalannya cerita.
Menulis cerpen bagi penulis muda tentunya tidak tanpa kendala. Seorang penulis bisa saja tiba-tiba kehilangan ide dan mengalami kesulitan mengembangkan cerita dan memperlakukan tokoh-tokoh yang terlibat di dalamnya. Bahkan yang paling sederhana, seorang penulis cerpen bisa menemukan kesulitan ketikat harus menentukan judul yang tepat untuk rangkaian cerita yang sudah disusunnya. Hal ini dapat dimaklumi karena judul merupakan bagian penting dalam sebuah karya yang menjadi penentu ketertarikan pembaca terhadap isi karya secara keseluruhan. “Surat Terakhir Ita” judul yang dipilih oleh Hasti, paling tidak, mampu membuat orang bertanya “ Apa pesan yang terdapat dalam surat terakhir Ita itu?”
Hal lain yang perlu diperhatikan dalam menulis cerpen adalah bagaimana membangun konflik dengan baik. Konflik adalah pergumulan yang dialami oleh tokoh dalam cerita, baik konflik internal maupun konflik eksternal. Konflik internal yaitu konflik yang dialami tokoh dengan dirinya sendiri, terutama terjadinya ketidakselarasan antara hati, pikiran, dan perbuatan. Konflik ekstenal biasanya dialami tokoh dalam cerita dengan tokoh lain maupun dengan alam dan lingkungan di sekitarnya. Dalam cerpen ini, Hasti mencoba menghadirkan konflik yang juga sederhana. Konflik batin yang dirasakan oleh Rina atas kepergian Ita sangat terasa dalam cerpen ini.
Gaya naratif cerpen Hasti yang miskin dialog membuat cerita ini sedikit monoton karena sesungguhnya dialog merupakan salah satu kekuatan penting dalam cerita. Dialog yang baik adalah dialog yang sesuai dengan kebutuhan cerita. Akan tetapi, jika dialog yang dimunculkan dalam cerpen terlalu banyak dan kehadirannya dianggap tidak penting malah menimbulkan kejenuhan bagi pembacanya. Di samping itu, dialog juga bertujuan memperkuat karakter tokoh yang akan dihadirkan dalam cerpen.
Hal yang perlu diperhatikan juga dalam menulis cerpen adalah bagaimana kita menggunakan bahasa, karena bahasa menjadi kekuatan yang sangat berpengaruh dalam membangun karya sastra. Gaya bahasa yang lugas diperlukan karena yang terpenting dalam sebuah cerpen adalah kesatuan cerita yang dibangun yang tentunya hanya dapat dicapai dengan penggunaan bahasa yang lugas dan cermat.
Setelah membaca cerpen ini saya menemukan beberapa kesalahan yang berupa penulisan kata, seperti kata fikir, yang seharusnya pikir. Selain itu, penggunaan tanda baca dalam cerpen ini juga masih banyak yang salah, seperti “Ternyata selama Ita tidak pernah bercerita bahkan aku yang kemarin dia anggap sahabat tapi tak pernah tahu apa yang selama ini terjadi pada Ita.”, dalam kalimat ini tidak ada penggunaan tanda baca seperti tanda koma (,) yang seharusnya bisa diletakkan pada “Ternyata selama Ita tidak pernah bercerita, bahkan aku yang kemarin dia anggap sahabat, tapi tak pernah tahu apa yang selama ini terjadi pada Ita.” Memahami ejaan, penggunaan tanda baca adalah hal yang mutlak dalam menulis. Penggunaan tanda baca yang baik akan menjadikan suatu cerpen dapat dipahami dengan baik oleh pembacanya.
Sebagai penulis muda, Hasti masih perlu banyak membaca karya sastra, untuk menambah wawasannya. Masih banyak kelemahan dan kekurangan yang harus di perbaiki, seperti pemakaian tanda baca, menempatan tanda titik dan koma yang tepat. Banyak memcasa karya sastra dapat memberikan banyak ide dan contoh cara menguguhkan cerita yang menarik. Terlepas dari kekurangan yang ada, Hasti sudah mencoba untuk membuat karya sastra. Teruslah berkarya.

Diterbitkan di Radar Lampung, Tanggal 24 Januari 2010.


Surat Terakhir Ita

Baru semalam Ita memberikan jam tangan yang kini melingkar di pergelangan tangan ku. Baru kemarin Ita tersenyum sambil berkata “aku bersyukur memiliki sahabat seperti mu” dan baru pagi ini ia meninggalkan ku untuk selamanya, dengan sebab yang sungguh sulit ku terima. Kepergianya membuat ku tak pantas menyandang sebutan sahabat dari bibirnya. Kepergian yang tak pernah ku ingin bahkan tak pernah terfikir oleh ku, Ita akan melakukanya. Hati ini rasanya tercabik, air mata tak habis kekeringan selalu saja mengalir. Kematian yang sulit ku terima sebab, tak ada yang tahu tentang kematianya.

Pagi itu ketika Bi Inah pembantu Ita masuk kamar untuk membangunkan Ita. Seperti pagi biasanya namun tak ada jawaban dari balik pintu kamar. Akhirnya tanpa komando Bi Inah langsung masuk kamar dan terkejut melihat tubuh Ita yang nyaris. “Bu…” Bi inah langsung berteriak memanggil Ibu nya Ita ketika mendekat tubuh Ita. Pagi itu tubuh Ita memang masih tidur layaknya orang tidur namun tidur yang benar-benar lelap. Mulutnya telah di penuhi busa, tumpahan obat-obat yang tak di kenal mengelilingi tubuhnya, sebagian masih ada di genggaman jemarinya. Seperti biasanya ketika berangkat ke kampus, aku selalu menghampirinya. Namun pagi ini, tanpa di rencana aku malah menghantar Ita ke RS Kusuma Bekti dan lebih menyakitkan lagi dokter mengatakan nyawa Ita tak dapat lagi di selamatkan karena obat yang di minumnya sudah terlalu banyak.

Ita over dosis….

Ternyata selama Ita tidak pernah bercerita bahkan aku yang kemarin dia anggap sahabat tapi tak pernah tahu apa yang selama ini terjadi pada Ita. Hingga hati ku bertanya “pantaskah aku di sebut sahabat?” Tak pernah ada yang ku tutupi dari diri ku semua ku ceritakan pada Ita. Tapi kenapa Ita harus menyembunyikanya, ataukah mungkin aku yang kurang peduli dan tidak perhatian pada Ita. Sejauh yang ku kenal Ita anak yang periang, seolah hidupnya tiada beban. Ia jarang mengeluh malah aku yang sering kali mengeluh padanya. fisiknya tak pernah sakit, pergaulanya lebih sering di habiskan bersama ku. Hampir semua kegiatan yang ia jalanni aku tahu jadwalnya. Tapi kenapa aku tidak tahu dari mana Ita mengenal obat ini. Meski aku baru kuliah ini mengenalnya tapi selama dua tahun ini hanya aku kawan dekatnya.

Sulit ku percaya tubuh Ita yang kini ada di hadapan ku. Tubuh yang di selimuti kain batik jawa, yang di kelilingi orang-orang berpakaian hitam. Baru kali ini ku rasakan kehilangan yang mendalam di tinggalkan orang yang ku tahu memiliki semangat tinggi, memiliki satu mimpi yang sama, mimpi untuk dapat membaca buku kuliah di bawah gugurnya sakura. Semakin ku lihat tubuh kaku Ita semakin aku ingin berlari dan berteriak

“Tidak…..”

Aku tak sanggup lagi dan kalap…

Tubuh ku jatuh lemas, tapi kesadaran ku masih tersisa, ku dengar sahutan orang sekeliling ku untuk segera menolong ku, entah suara dari siapa. Aku rasakan tubuh ku yang lemah di angkat orang dan di bawa ke ranjang tidur Ita. Dalam kesadaran yang tersisa batin ku kembali bicara “aku harus kuat”. Aku harus ikut mengantar kepergian Ita untuk selamanya. Mbak Retno sepupu ita membimbing ku agar aku kuat. Keyakinan ku akan sanggup bangun membuat ku sadar dan langsung memeluk Mbak Retno. “Mbak aku ngerasa ga’ pantes buat Ita, apa aku pantes di sebut sahabat padahal aku selama ini ga’ tahu apa yang selama ini terjadi dengan Ita?”

“sudah Rin, mungkin ini memang sudah takdir-Nya, kita ga’ pernah tahu kapan azal datang?”

“tapi mbak aku ga’ sanggup melihat tubuh Ita, kematian Ita yang mendahului takdir”

“sudah Rin, yang harus kamu lakukan sekarang berdoa agar Ita di maafkan dan di ampuni dosanya”

“aku ingin lihat Ita lagi Mbak” pinta ku sambil merintih

‘tapi kamu janji, harus kuat’

‘ia mbak’

“kasihan Ita, dia akan lebih berat kalau kamu terus seperti ini”

Aku hanya menunduk selanjutnya beranjak karena ita akan segera di makamkan dan mbak Retno menuntun ku dari belakang hingga prosesi penguburan selesai. Setelah kondisi ku mulai terkendali naluri detektif ku kembali hadir, aku masih berfikir sebab kematian Ita. Selesai prosesi pemakaman aku masuk kamar ita dengan alasan mengambil barang yang tertinggal. Ku cari di sekeliling sesuatu yang bisa ku jadikan petunjuk dan ternyata aku menemukan selembar kertas yang tergeletak di sudut meja belajar Ita dekat foto aku bersama Ita di Borobudur yang terpajang di bingkai hijau yang juga ku miliki.


Hy Rin…

Aku tahu naluri detektif akan menuntun diri mu mencari tahu penyebab kepargian ku, maaf kan aku yang mendadak tanpa izin pada mu. Maaf kan aku juga rin yang tak pernah memberi tahu mu semua tentang ku. Sudah lama kita bersahabat, dua tahun bukanlah waktu yang pendek untuk ku tidak menyebut mu sahabat. Tapi sudah lama juga aku menenal obat ini, jauh sebelum aku mengenal mu. Kehadiran mu menyadarkan ku untuk membuang dan meninggalkan obat yang aku tahu bahayanya. Awalnya aku benci dengan mu karena kau wanita yang di pilih Dion untuk jadi pacarnya dan kau tidak menolak. Aku tidak menyalahkan mu, mungkin salah ku juga yang tak tak pernah bercerita tentang Dion pada mu. Menceritakan bahwa aku sejak SMA telah mengagumi Dion. Hal itu mendorong ku untuk mendekati mu dan mengenal kan mu akan butiran-butiran terlarang ini yang mampu merusak hidup mu. Tapi setiap aku ingin mengenalkan mu pada obat entah kebetulan atau tidak Dion selalu datang dan mengajak mu pergi, hal itu semakin membuat ku muak dan benci dengan mu Rin. Hingga malam itu aku berhasil mengajak mu pergi ke pesta kawan SMA ku, tapi sungguh aku salut pada mu yang tetap kukuh pada prinsip untuk tidak menyentuh makanan dan minuman haram dan malah mengajak ku untuk pulang. Setiap hari aku sibuk memikirkan cara untuk mengenalkan mu pada obat ini, bahkan aku tega menusuk mu dari belakang seringkali aku menjelekan mu di belakang menceritakan hal buruk mu ada Dion dan sebagian kawan kampus. Barangkali Aku memang jahat, hingga aku sadar tak seharusnya aku melakukan itu pada mu. Apalagi setelah kau ajak aku kerumah mu mengenalkan ku pada keluarga sederhana yang harmonis meski memiliki anak yang keterbelakangan mental. Ingatkah kau Rin?

Setelah aku melihat keadaan keluarga mu dan adik mu aku langsung keluar pergi meninggalkan mu tanpa pamit. Itu karena aku tak sanggup melihat penderitaan mu Rin. Ku fitnah kau hingga Dodi memutuskan mu, aku merasa puas dengan keadaan itu tapi kini kau menyesal karna tak lama setelah itu kau tak lagi jadi guru privat adik Dodi. Dan itu artinya aku menjadi tahu tak ada lagi pemasukan untuk pengobatan adik mu. Kejadian itu membuat ku tak ingin lagi membuat mu jauh menderita cukup aku yang hancur telah mengenal obat ini. Hingga malam ini ingin ku akhiri semuanya. Aku merasa tak pantas berada di dunia yang di kelilingi orang-orang yang menyayangi ku dan itu kamu Rin. Aku juga sudah muak dengan keadaan sekitar ku yang penat. Ibu yang seringkali pulang dengan laki-laki yang tak ku kenal. Hinggga ku putuskan untuk kembali meminum dan menghabiskan butiran yang mulai tak ku sentuh.. Aku yakin kamu pasti sakit membaca tulisan ini.

Maafkan aku Rin yang tak pernah bercerita dan selalu mengecewakan mu karena aku tak ingin menambah beban hidup mu. Kenang aku selaku di hati mu Rin walau aku selalu menyakitimu

By : Ita “Sahabat mu “

Air mata ini kembali berlinang, dada ini rasanya sesak. Kecewa, sakit , sedih semua menyatu. Aku semakin tak kuat, lemah, tak berdaya.

Dan Klap…..

Aku pinsan lagi tanpa kesadaran yang masih tertinggal.

Lampung 2009

Biodata Penulis

Nama : Hasti Wuryani

Tempat tanggal lahir : Tanjung Bintang, 12 Desember 1991

Alamat : Jl. Cendana no 153 jati baru, Tanjung Bintang, Lampung Selatan, 35361

No Handphone : 085768402590








Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda