Blogger Template by Blogcrowds

SELAMAT DATANG DI RUANG KECIL KAMI

Menulis Puisi Dengan Hati

Erwin Wibowo, Staf Pembinaan, Kantor Bahasa Provinsi Lampung

Puisi merupakan salah satu media yang digunakan oleh penyair untuk menuangkan ide dan perasaannya. Setiap penyair mempunyai cara dan gaya tersendiri dalam menuangkan ide dan perasannya itu, yang salah satunya dapat dilihat melalui bentuk dan amanat yang ingin disampaikannya. Setiap puisi mengandung amanat tersendiri dari penyairnya. Dalam hal ini ada penyair yang secara sederhana menggambarkan idenya, tetapi ada pula yang agak tersembunyi sehingga memerlukan pengkajian dan analisis yang tepat. Oleh karena itu, ada puisi yang amanatnya tidak sampai kepada para pembacanya karena pembahasan dan penalarannya kurang tepat. Sebaliknya, ada pula puisi yang mudah diterima, dipahami, dan ditentukan apa amanat yang ingin disampaikan penyair.

Namun demikian, tak dapat dipungkiri, gaya bahasa yang digunakan penyair dalam merangkai puisinya memiliki peranan penting dalam menentukan ketersampaian ide dan keindahan yang dihasilkan sebuah puisi. Gaya bahasa yang digunakan seorang penyair akan mempengaruhi kesan yang ditangkap pembaca terhadap sebuah puisi, sekaligus juga menjadi penentu kualitas puisi tersebut di mata pembaca dan penikmat puisi.

Membaca puisi-puisi Meita Pratiwi, kesan pertama yang saya dapat adalah hamparan kata-kata yang bermetafora. Beberapa puisi Meita masih mengangkat tema percintaan, tema yang banyak diangkat oleh penulis muda. Puisi Meita terasa berbeda karena dia banyak menggunakan metafora. Metafora yang digunakan Meita inilah yang memberi kesan tersendiri terhadap puisi-puisinya.

Metafora adalah salah satu cara penyair untuk mengemukakan maksud yang akan disampaikannya. Metafora berasal dari kata meta dan phoreo yang berarti ‘bertukar nama’ atau ‘perumpamaan’. Metafora adalah majas perbandingan langsung, yaitu membandingkan sesuatu secara langsung terhadap penggantinya. Penggunaan metafora pada puisi tidak hanya menimbulkan kesan yang berbeda, tetapi juga dapat menimbulkan keindahan bunyi pada setiap lariknya.

Pada puisi “Aku Tak Ingin Awan Itu Kelabu”, metafora yang digunakan oleh Meita sangat baik sehingga puisi ini memiliki kekuatan di dalamnya. Puisi ini bercerita tentang kerindunan akan seseorang yang memberikan cinta yang tulus. Bagai awan kelabu yang datang kala siang // menutup kecerahan dan menutup keindahan // hanya menjejakan gelap, pembukaan puisi ini sangat menarik, Meita membukanya dengan metafora awan kelabu di kala siang. Metafora ini menjadi pelambang sesuatu yang di luar harapan. Siang sebagai penanda kecerahan dan keceriaan berkontradiksi dengan awan kelabu. Metafora ini disajikan Meita untuk menggambarkan suasana hati yang tak menentu, suasana hati yang tak bahagia. Pengharapan untuk mendapatkan cinta yang tulus, diungkapkan dengan baik oleh Meita dengan metafora, Aku tak ingin kasih yang dipalsukan.

Pada puisi “Bunga Mawar Yang Aku Lupakan”, Meita menawarkan suatu puisi yang menarik. Puisi tentang cinta yang dikemas sedemikian rupa sehingga menjadi puisi yang menarik. Pada puisi ini Meita masih meghadirkan metafora sebagai penggambaran yang ia maksudkan. Seperti penggunaan metafora dalam puisi ini, sudah cukup aku menghirup candumu // kamu memberiku awan kelabu. Kata candumu, disini seakan-akan menegaskan bahwa si Aku lirik sedang berada di dalam pengaruh kekasihnya. Pada puisi ini Meita bercerita tentang bagaimana kisah cinta yang telah terjadi dengan penuh kebohongan dan tidak berdasarkan cinta, Sudahlah hentikan semua bualanmu tentang cinta // apalagi rindu yang kamu tahan sepanjang waktu // karena aku tahu itu hanya dusta belaka.

Lain halnya pada puisi “Cahaya Yang Ada dan Tiada”. Awalnya membaca puisi ini, agak sedikit bingung, maksud yang akan disampaikan oleh Meita. Puisi ini masih mengangkat tema seputar cinta. Awal puisi ini sangat indah, susunan kata-kata yang sederhana, terrangkai dengan begitu bagusnya. Akan tetapi, agak sedikit permasalahan pada puisi ini pada bait ketiga, Ya Tuhan, beri aku senjata untuk menghadapimu, akhiran –mu pada kalimat ini, dan pada baris terulang pada baris selanjutnya, membuat saya bertanya. Siapa –mu pada konteks itu. Jika membaca menyimak pada baris pertama, akhiran –mu, pada kata menghadapimu, seharusnya ditulis menghadapi-Mu, karena akhiran –mu, sebagai kata ganti Tuhan. Akan tetapi, jika kembali menyermati puisi ini mungkin akhiran –mu, jika saya boleh kasih saran diganti dengan akhiran –nya, menjadi menghadapinya, dan seterusnya.

Ada yang berbeda dari kumpulan puisi-puisi Meita, pada puisi “Pengakuan Sang Anak Autisme”, pada puisi ini Meita mencoba melukiskan perasaan seseorang yang mempunyai penyakit autis. Pada bait pertama, Meita mencoba melukiskan bagaimana sosok manusia yang dibilang autis. orang-orang bergerak seperti boneka // tapi sesungguhnya, yang benar-benar bergerak adalah aku, baris ini menggambarkan bagaimana salah satu sifat seseorang yang menderita autis, adalah kesulitan untuk beradaptasi dengan lingkungan sekitar.

Penggunaan metafora yang baik membuat puisi ini mempunyai kekuatan tersendiri, bait kedua puisi ini. Mataku sudah kering // jadi untuk apa aku meneteskan air mata? //menangisi takdir //membenci Tuhan // menghujat alam // menangisi kelahiran, hidup harus terus berlanjut, penyesalan tidak akan menghasilkan apa-apa.

Puisi-puisi yang disajikan oleh Meita sangat baik. Hamparan metafora, dengan diikuti penyusunan dengan baik, membuat puisi-puisinya sangat bermakna. Meita sepertinya sadar betul, dengan penggunaan bahasa dengan baik, jarang saya temukan pemakaian kata yang salah. Sebagai penulis muda, Meita terbilang sudah mahir memainkan kata-kata. Akan tetapi, tidak salah jika Meita harus tetap belajar, membaca karya sastra sehingga mendapatkan pengetahuan yang lebih.


Diterbitkan di Radar Lampung, 7 Maret 2010


Pengakuan Sang Anak Autisme

Matahari bersinar terik menyilaukan mata

angin terasa kering dan panas, tapi keringat di tubuhku terasa dingin

orang-orang bergerak seperti boneka

tapi sesungguhnya, yang benar-benar bergerak adalah aku

benarkah aku bergerak?

mengapa tubuhku berlari, tetapi hatiku mati rasa?

kenapa kaki yang tanpa alas ini tidak merasakan kerikil tajam yang menusuk telapakku?

Mataku sudah kering

jadi untuk apa aku meneteskan air mata?

menangisi takdir?

membenci Tuhan?

menghujat alam?

menangisi kelahiran?

tubuhku seolah melesat terbawa angin mengikuti langkah kaki kemana aku mau

tidak ada keinginan serasi antara otak, tubuh, dan hatiku

semuanya salah, salah, salah, dan tidak ada yang benar

aku diombang-ambing oleh nasib dan tidak ada yang berbaik hati padaku

tubuhku hanya sekedar jasad, tidak merasakan apa-apa

tetapi hatiku berulang kali diperkosa

Ya Tuhan, mengapa Kau berikan cobaan di luar kemampuanku?

Kakiku membawaku ke tepian Sungai Way Seputih

airnya tampak jernih dan kilaunya menari-nari

aku segera melompat ketika sungai itu memanggilku

aku akan membiarkan air itu menyelimutiku

aku ingin tidur, aku sangat lelah

tak aku hiraukan suara-suara beriak di luar sana

aku merasakan air itu membekukan tubuhku

dalam bayangan, tampak ayah dan ibuku menyongsong di atas sana

Aku Tak Ingin Awan Itu Kelabu

Bagai awan kelabu yang datang kala siang
menutup kecerahan dan menutup keindahan
hanya menjejakkan gelap

aku tak ingin kau menjadi seperti awan kelabu
hanya meninggalkan kepalsuan

untuk keinginanmu akan sekeping hati milikku
aku tak ingin kasih yang dipalsukan

aku ingin indahnya kejujuran seperti indahnya siang

tetapi sekarang aku pun juga mengerti

jika aku memiliki cinta

aku tidak akan benar-benar mengerti dan memahami kehadirannya

sampai aku telah kehilangannya


Bunga Mawar Yang Aku Lupakan

Sudahlah hentikan semua bualanmu tentang cinta

apalagi rindu yang kamu tahan sepanjang waktu

karena aku tahu itu hanya dusta belaka

sudah cukup aku menghirup candumu

kamu terlanjur memberiku awan kelabu

dimana air mataku menjadi tetes hujannya

belum cukupkan semua itu?

tetapi apa pedulimu?

kamu hanya bisa meminta maaf dan menghilangkan jejak

seolah-olah kamu takut menghadapi sidang janjimu..

aku adalah aku

aku adalah aku meski tanpamu

tiada guna mengenangmu jika kamu tidak pantas untuk aku kenang

bagiku kamu hanya seperti air hujan

yang jatuh dan meresap di tanah..

Cahaya Yang Ada dan Tiada

aku menghitung hujan dan setiap daun yang berguguran

teringat perjumpaan pertama denganmu

tak ada rasa yang mampu terucap, kecuali kembangan senyum

hangat menerpa dan terkenang setiap saat

aku mengenangmu

bagaimana kamu berjalan

saat kamu berkata, kamu tidak berani menatapku

suaramu lembut, bibirmu bergetar

aahhh, aku tak yakin ini firasat cinta

tetapi mengapa selalu ada keajaiban di antara aku denganmu

Ya Tuhan, beri aku senjata untuk menghadapimu

beri aku tameng untuk menjagamu

menjaga cintaku, menjaga asaku yang terancam padam

aku menyukaimu, hanya menyukaimu

tidak sampai ingin memilikimu

ingin mendekatimu tapi takut kehilanganmu

Ya Tuhan, aku menggila dalam khayalanku bersamamu


Nama : Meita Pratiwi

No : 2793

TTL : Bandar Lampung, 20 Mei 1992

Alamat : Jl. Urip Sumoharjo Gg Sungai 8

Siswi SMA Al Azhar 3 Bandar Lampung (kelas XII IPS 2)


Postingan Lama