Blogger Template by Blogcrowds

SELAMAT DATANG DI RUANG KECIL KAMI

Menangkap Nuansa Dalam Puisi

Menangkap Nuansa dalam Puisi
*Yulfi Zawarnis

Puisi merupakan wujud ekspresi penulisnya terhadap segala hal yang dialami dan terjadi disekitarnya. Sebuah puisi biasanya lahir setelah penulisnya melakukan kontemplasi terhadap segala hal yang dilihat, dirasakan, dialami, dan dipikirkannya itu. Keunikan sebuah puisi dibandingkan jenis karya sastra lainnya terletak pada cara penulis mengeksplorasi idenya. Seorang penulis puisi memiliki kebebasan yang tak terhingga dalam memperlakukan kata-kata. Penyair kontemporer Sutarji Calzoum Bachri, misalnya, bahkan betul-betul melepaskan kata-kata itu dari maknanya dengan menciptakan puisi-puisi mantra. Oleh karena itu tidak semua orang dapat memahami pesan yang ingin disampaikan Sutarji melalui puisi-puisi mantranya tersebut.

Namun demikian, sebuah puisi pada dasarnya merupakan rangkaian kata-kata yang mengandung unsur keindahan. Keindahan sebuah puisi tidak hanya terletak pada makna yang ditimbulkannya, tetapi juga pada rangkaian kata-katanya. Dengan kata lain, puisi merupakan ekpresi yang kongkret dan artistik pikiran manusia yang diungkapkan melalui bahasa yang emosional dan berirama.

Membaca puisi tentunya dapat dilakukan oleh semua orang, tetapi menangkap makna yang tersirat dalam puisi dan menikmati keindahan puisi tentunya tidak dapat dilakukan oleh banyak orang. Sebetulnya dengan menangkap nuansa yang muncul dari bunyi-bunyi yang terdengar ketika puisi itu dibaca, kita dapat merasakan emosi yang ingin diungkapkan oleh penulisnya.

Membaca puisi-puisi Irwan, emosi pembaca seolah tergiring melalui rangkaian kata yang dibangunnya. Puisi Irwan, “Aku”, mengandung kakafoni, bunyi suara yang parau, yang menggambarkan kegelisahan penulisnya. Kata-kata yang digunakan Irwan dalam puisi “Aku” banyak mengandung unsur bunyi /r/ dan /g/ yang memberikan suasana yang kacau balau, sedih, dan tidak menyenangkan.

/Aku /ruh dan raga /raga atas sukma jiwa /Aku /Jiwa yang senantiasa muda /dan benar /raga menjadi renta /kala tiada /tidak /Aku /melainkan mereka /terpisah hidup di tempat tak nyata /ruh maya raga merana /raga fana ruh berduka /adalah mereka /bukan dia /ruh dan raga /Aku//. Dalam kutipan puisi di atas, kombinasi bunyi-bunyi konsonan seperti /g/, /r/. Dan /k/ memberikan suasana yang sedih dan tidak menyenangkan. Melalui bunyi-bunyi yang ditimbulkan ketika membaca puisi ini, pembaca dapat menangkap isyarat bahwa puisi itu lahir dari rasa sedih dan kecewa yang dialami penulisnya.

Kesedihan dan kekecewaan yang digambarkan dalam puisi ”Aku” ini tidak hanya terlihat dari bunyi-bunyi konsonan yang terdapat di dalamnya. Dalam setiap kata yang digunakan pun dapat dirasakan nuansa kesedihan dan kekecewaan /raga menjadi renta/…/ruh maya raga merana/raga fana ruh berduka/.

Hal yang sama juga terlihat pada puisi ”Bintang yang Meredup”. Dalam puisi ini juga banyak terdapat bunyi-bunyi konsonan yang menimbulkan suara ”parau”, seperti bunyi /t/, /g/, /k/, /b/, dan /d/. Nuansa yang terbangun ketika kita membaca puisi ini pun penuh dengan kesedihan dan kekecewaan. Selain dari nuansa bunyi yang ditimbulkan, dari judulnya pun sudah dapat dirasakan kesedihan yang diungkapkan penulis melalui puisinya ini.

Puisi “Kisah Pohon Kecil” dibangun dengan nuansa yang tidak terlalu keras dan kasar. Penggunaan konsonan /n/, /ng/, dan bunyi-bunyi vokal membuat puisi ini lebih lekat dengan nuansa kesunyian dan perenungan terhadap isyarat alam. /dua pohon besar sedang berkidung /syair masalah hidup yang menggunung /pohon kecil ditengah tertunduk bingung /wak berdaya bantu apalagi mengusung. //waktu yang berputar /membuat pohon kecil belajar /menyerap ilmu /hidup dengan akarnya /berdo’a pada tuhan dengan dahan dan rantingnya//. angin dan badai kawan setia sejalan /panas dan hujan selimut kebisuan /pohon kecil berhenti sejenak /tuk lebih teliti dan menyimak. /hidup perjuangan akhir adalah milik tuhan /dunia hanya perpanjangan /arena ujian hati dan iman.//

Sama halnya dengan puisi “Aku”, “Bintang yang Meredup”, dan “Kisah Pohon Kecil”, puisi “Pengembala Muda” juga ditulis Irwan dengan sangat memperhatikan kesamaan rima. Lagi-lagi dalam puisi ini Irwan mencurahkan kesedihannya yang tergambar dalam bunyi-bunyi konsonan yang digunakan dalam puisinya. Bunyi-bunyi /p/, /g/, /t/, dan /b/ mewarnai setiap larik puisi Irwan.

Puisi ”Hati yang Karam” malah semakin nyata menggambarkan nuansa kesedihan dan kesunyian. Hal ini tidak hanya tergambar melalui nuansa yang ditimbulkan ketika kita membaca puisi tersebut, tetapi juga tergambar melalui pilihan kata. Kata-kata kesunyian, kesendirian, terpojok, senyap, kesedihan, kematian, kelemahan, dan dilema mewakili rasa yang dialami oleh Irawan yang dituangkan melalui puisinya ini.

Terlepas dari makna yang ditimbulkannya, sayangnya, untuk memperoleh nuansa dan keindahan bunyi, Irwan terjebak dalam lantunan nada yang diciptakannya. Irwan terkesan memaksakan menggunakan kosakata tertentu dan melepaskan kata itu dari konfensi yang sudah ada. Misalnya dalam larik /tuk bersinar walau secerca /tuk bertahan walau maya/, Irwan menggunakan kata secerca, alih-alih secercah untuk memenuhi kesamaan bunyi di akhir bait dengan bait berikutnya. Hal yang sama juga terlihat pada penggunaan kata sashi dalam /bintang meredup terisolasi /merasakan cinta delapan sashi/. Padahal, tanpa melesapkan /h/ di belakang setiap kata itu pun tidak berpengaruh terhadap nuansa dan keindahan bunyi yang dibangun melalui puisi ini.


Diterbitkan di Radar Lampung, Tanggal 17 Januari 2010



Irwan

Aku


Aku

ruh dan raga

raga atas sukma jiwa

Aku

Jiwa yang senantiasa muda

dan benar

raga menjadi renta

kala tiada

tidak

Aku

melainkan mereka

terpisah hidup di tempat tak nyata

ruh maya raga merana

raga fana ruh berduka

adalah mereka

bukan dia

ruh dan raga

Aku

Bintang yang Meredup

mentari jiwaku tlah enggan bersinar

rembulan hati letih dan meredup

saat gerhana cinta kembali membakar

sehingga sang bintang tiada sanggup

tuk bersinar walau secerca

tuk bertahan walau maya.

bintang meredup terisolasi

merasakan cinta delapan sashi

kasih yang palsu

kasih yang semu.

bintang semakin tenggalam

dalam lorong kesendirian yang temuram

tiada rambu yang ia tau

tiada tanya dari lidahnya yang kelu.

bintang hanyalah bintang

ia seakan dirasa tak penting

karna ia hanyalah pendamping.

Kisah Pohon Kecil


dua pohon besar sedang berkidung

syair masalah hidup yang menggunung

pohon kecil ditengah tertunduk bingung

wak berdaya bantu apalagi mengusung.

waktu yang berputar

membuat pohon kecil belajar

menyerap ilmu hidup dengan akarnya

berdo’a pada tuhan dengan dahan dan rantingnya.

angin dan badai kawan setia sejalan

panas dan hujan selimut kebisuan

pohon kecil berhenti sejenak

tuk lebih teliti dan menyimak.

hidup perjuangan akhir adalah milik tuhan

dunia hanya perpanjangan

arena ujian hati dan iman.

Pengembala Muda

Pengembala muda

berhias di air telaga yang keruh

membasuh mandi darah dan nanah

merajut wol sutra menjadi kusut

haus dahaga menenggak api

mengembala di padang gurun berpasir

pengembala muda

seabad meniti jalan

terbangunlah gubuk megah nan indah

saat ia mulai letih

berusaha kuat memelihara gembalaan yang kian ringkih

pengembala muda

jiwa semakin condong

meminta tuan memberi tolong

ini dan itu

sedang lidah tajam berbohong

pengembala muda

mencari padang rumput

luas pun subur ilalang hijau

mencari air

air yang benar-benar sesungguhnya air

air tiada warna dan bau

pengembala muda

Hati yang Karam

kesunyian menghantui

dan hanya kesendirian teman sejati

ketika sayap cinta kembali patah

mungkin terkena panah cupid yang murka.

sesosok tubuh kaku

terpojok disudut ruangan

mendengar kata yang berbau bangkai

melihat kemunafikan yang terkuak

dari seorang yang menyerupai iblis.

sunyi semakin senyap

kala udara cinta berganti tuba

suara guntur bak hymne kesedihan

nyanyian yang terlantun diradio

seperti suara dukun yang komat-kamit

membaca mantra kematian.

kelemahan jiwa tampak kembali

tatkala dilema menghampiri

haruskah terus bertahan dalam sunyi

ataukah kembali kepangkuan alam dan

melebur bersama bumi.

0 Comments:

Post a Comment



Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda