Dalang Pembunuhan
Yulfi Zawarnis* SAAT ini dunia hukum Indonesia sedang dihebohkan dengan kasus yang tak kunjung selesai. Kasus yang awalnya muncul karena kasus kriminal, yang kebetulan melibatkan pejabat, berkembang hingga ke ranah politik. Perseteruan tidak lagi hanya melibatkan orang per orang. Berbagai bukti yang dimunculkan di persidangan akhirnya menyeret banyak nama. Perselisihan berkembang hingga akhirnya melibatkan dua instansi besar, KPK dan Polri. Konflik antarlembaga pemerintah itu pun meruncing. Mereka berlomba-lomba mengajukan barang bukti untuk menunjukkan siapa yang benar dan siapa yang salah. Masyarakat pun pada akhirnya banyak yang mengambil sikap, ada yang pro pada salah satu institusi dan ada juga yang akhirnya kontra pada kedua instansi yang terlibat. Perseteruan KPK melawan Polri ini pun akhirnya menelurkan jargon cicak versus buaya atau cicak melawan buaya. Kabarnya, jargon cicak melawan buaya ini sebagai pelambang kekuatan kecil melawan kekuatan besar. Belum lagi jargon cicak melawan buaya hilang, sudah muncul lagi istilah baru kriminalisasi KPK. Entah karena ingin lebih meng-Indonesia, istilah kriminalisasi KPK ini, belakangan, lebih populer dengan istilah pengerdilan KPK. Kasus yang menimpa KPK, orang-orang, dan instansi yang terlibat di dalamnya ini terus bergulir hingga tak jelas lagi siapa yang salah dan siapa yang benar. Pihak-pihak yang terlibat berlomba-lomba mengajukan barang bukti untuk membela diri mereka. Kasus ini pun tidak henti-hentinya menggelitik kreativitas berbahasa kita, khususnya bagi para awak media dan jurnalis. Selain menghasilkan jargon dan istilah baru, kasus ini juga membuat istilah-istilah yang sudah jarang digunakan muncul dan populer kembali. Sebelum kasus antara KPK dan Polri bergulir, dunia hukum kita juga sudah dihebohkan dengan kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen yang menjabat sebagai Direktur PT Putra Rajawali Banjaran. Terbunuhnya Nasrudin Zulkarnaen ini menyeret nama Antasari Azhar yang saat itu menjabat sebagai ketua KPK. Melalui berbagai tahap pemeriksaan akhirnya Antasari diduga sebagai salah satu aktor intektual di balik pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen. Lagi-lagi istilah yang jarang digunakan dalam dunia politik muncul dan serta-merta menjadi sangat tidak asing di telinga kita. Dalang pembunuhan, aktor intelektual, dan otak pembunuhan, misalnya, dalam kasus Nasrudin ditujukan pada mantan pimpinan KPK, Antasari Azhar. Tentunya istilah dalang pembunuhan atau aktor intelektual tidak ada kaitannya dengan dunia seni peran, apatah lagi dunia pendidikan. Nama Antasari tidak hanya dikaitkan dengan kasus politik, tetapi sudah masuk ke wilayah kriminal. Sebuah media massa menulis: "Antasari diposisikan sebagai aktor intelektual di balik kematian Nasrudin. Belakangan, muncul kesaksian mengejutkan dari Wiliardi Wizard bahwa ada skenario penyidik untuk menjerat Antasari". Media lain menulis: "Pengamat: Sangat naif AA jadi dalang pembunuhan karena wanita". Lalu istilah manakah yang paling tepat untuk menyebut peran Antasari Azhar dalam kasus pembunuhan itu? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) aktor intelektual berarti otak berbagai tindakan yang menyimpang (seperti kerusuhan, pembakaran, dan pembunuhan). Kata aktor intelektual, biasanya digunakan untuk menyebut seseorang yang ada di balik peristiwa itu. Kata aktor intelektual di Indonesia marak digunakan pada jaman pemerintahan Orde Baru. Aktor intelektual selalu dikaitkan dengan peristiwa politik yang dianggap mengganggu stabilitas nasional, misalnya peristiwa Malari. Di samping itu, kata dalang pembunuhan dan dalang kerusuhan merupakan kata turunan dari dalang. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, dalang adalah orang yangg mengatur (merencanakan, memimpin) suatu gerakan dengan sembunyi-sembunyi. Dengan demikian, dalang pembunuhan berarti orang yang mengatur (merencanakan, memimpin) pembunuhan dengan sembunyi-sembunyi. Otak pembunuhan diturunkan dari kata otak yang dalam KBBI berarti biang keladi; tokoh; gembong. Otak pembunuhan, dengan demikian, berarti yang merencanakan (memimpin, mengepalai) suatu pembunuhan. Dalam kasus Nasrudin Zulkarnaen, Antasari Azhar lah yang sering dituding sebagai orang yang merencanakan pembunuhan terhadap bos Putra Rajawali Banjaran itu. Dalam kasus ini, agaknya sebutan aktor intelektual, dalang pembunuhan, ataupun otak pembunuhan memang merujuk pada perilaku atau perbuatan yang sama, yakni terkait dengan perbuatan menyimpang, yang dalam hal ini perbuatan menyimpang pembunuhan. Oleh karena itu, istilah apa yang akan kita pilih untuk merujuk pada perilaku yang sama ini tentunya bergantung pada selera dan gaya bahasa setiap orang. Sekali lagi, ini menjadi bukti betapa kaya bahasa kita. *** * Staf Kantor Bahasa Provinsi Lampung |
Lampung Post, Rabu, 2 Desember 2009
Kriminalisasi KPK
* Erwin Wibowo CICAK versus buaya sudah sangat biasa terdengar di telinga kita seiring dengan memanasnya konflik antara KPK dan Polri. Isunya semakin berkembang dengan ditahannya pimpinan KPK nonaktif Chandra M. Hamzah dan Bibit Samad Riyanto. Penahanan Bibit dan Chandra ini juga memunculkan tuduhan kriminalisasi KPK. SBY, orang nomor satu di negeri ini pun disebut-sebut namanya. Untuk menepis tuduhan yang diarahkan kepadanya, Jumat (30-10), SBY menggelar temu wartawan. SBY menyatakan, "Hati-hati mengunakan istilah kriminalisasi KPK, hati-hati. Yang saya tahu, kriminalisasi pers. Jangan. Kriminalisasi KPK, kriminalisisi MK, kriminalisasi lembaga kepresidenan, saya tidak paham artinya apa?" Kriminalisasi berasal dari kata kriminal yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti berkaitan dengan kejahatan (pelanggaran hukum) yang dapat dihukum menurut undang-undang pidana. Sedangkan kriminalisasi merupakan bentukan kata kriminal yang ditambahkan imbuhan -isasi yang dalam KBBI berarti proses yang memperlihatkan perilaku yang semula tidak dianggap sebagai peristiwa pidana, tetapi kemudian digolongkan sebagai peristiwa pidana oleh masyarakat. Seperti yang sudah kita ketahui, pembentukan kata dalam bahasa Indonesia melalui tiga macam proses pembentukan, yaitu: afiksasi atau pengimbuhan, reduplikasi atau pengulangan, dan komposisi atau pemajemukan. Unsur -isasi dalam bahasa Indonesia berasal dari dua bahasa, yakni -isatie (Belanda) atau -ization (Inggris). Unsur itu tidak diserap secara terpisah ke dalam bahasa Indonesia, tetapi diserap bersama-sama dengan kata dasarnya. Ini berarti, kriminalisasi merupakan kata serapan dari criminalisatie atau criminalisation, bukan kata kriminal + -isasi. Tentu saja hal ini juga menguatkan bahwa dalam bahasa Indonesia tidak terdapat akhiran -isasi. Salah kaprah terkait dengan akhiran -isasi ini pun kerap menimbulkan salah kaprah pada penggunaannya, sehingga akhirnya muncul istilah standarisasi, yang seharusnya standardisasi. Lalu, mungkinkah SBY tidak paham makna leksikal kriminalisasi ini atau ini hanya sebuah bentuk ungkapan kekesalan atas tuduhan yang seolah-olah ditujukan kepadanya? Bila -isasi sulit dipahami maknanya oleh beberapa orang, mungkin kita perlu mengetahui bahwa akhiran -isasi sebetulnya bersinonim dengan imbuhan pe-an. Istilah modernisasi bersinonim dengan pemodernan, islamisasi bersinonim dengan pengislaman, legalisasi bersinonim dengan pelegalan, dan seharusnya kriminalisasi bersinonim dengan pengkriminalan. Masalahnya, di telinga banyak orang, istilah kriminalisasi lebih populer dibandingkan istilah pengkriminalan, legalisasi lebih populer dibandingkan pelegalan, dan modernisasi lebih populer dibandingkan pemodernan. Padahal, bila kita dengan gamblang menggunakan istilah pengkriminalan alih-alih kriminalisasi, tentunya akan lebih banyak orang yang paham bahwa yang dimaksud adalah membuat KPK menjadi institusi yang digolongkan mengandung peristiwa pidana. Lalu, adakah pihak yang berani menggunakan istilah pengkriminalan KPK, pengkriminalan lembaga kepolisian, pengkriminalan lembaga kepresidenan, atau pengkriminalan MK, sehingga di balik karut-marut dunia politik kita masih memiliki kesadaran yang tinggi untuk melestarikan bahasa Indonesia? * Staf Kantor Bahasa Provinsi Lampung |
Lampung Post, Rabu, 4 November 2009
Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda