Blogger Template by Blogcrowds

SELAMAT DATANG DI RUANG KECIL KAMI

Personifikasi Sebagai Upaya Menghidupkan Cerita

*Yulfi Zawarnis

Menulis cerpen atau puisi tentunya tidak sekadar menuangkan ide dan pikiran menjadi sebuah cerita. Penulis yang baik tentunya juga berpikir bagaimana kata-kata dirangkai hingga kemudian terbentuk sebuah cerpen yang enak dibaca dan menimbulkan kepuasan bagi pembacanya. Adakalanya sebuah cerpen dibuat sebagai media dakwah, propaganda, atau bahkan kritik sosial yang ditujukan kepada pemerintah dan masyarakat umum.

Cerpen yang berjudul “Pucuk Mentari” karya Athifaturrohmah agaknya dibuat sebagai media dakwah dan kritikan kepada masyarakat tentang keadaan dunia saat ini. Isu pemanasan global sedikit banyak mempengaruhi cerita ini. Lalu saya teringat lagu Ebiet G. Ade /mungkin Alam mulai bosan/ bersahabat dengan kita/yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa// yang mungkin juga menginspirasi cerpen ini. Athifaturrohmah memulai ceritanya dengan mendeskripsikan kesibukan benda-benda dan makhluk-makhluk yang ada di dunia, mulai dari awan, bumi, langit, tanah, dan manusia, yang diwakili oleh buruh.

Awan berarak perlahan. Seperti biasa, ia tunaikan tugasnya mengelilingi bumi yang semakin basah menemani langit yang sering merasa sendiri. Yah, bumi semakin basah karena kering tanah menguap bersama milyaran liter peluh di tubuh kekar buruh. Lalu terguyur jutaan mili hujan yang sudah berkadar asam.

Sedang matahari semakin terik dipandangi mata-mata pendosa yang terkekeh atas maksiat yang terus saja mereka jalani. Matahari tak tahan, lekat tatapan makhluk pendosa itu tertuju padanya seraya mengumbar kenikmatan aurat yang harusnya terbalut kain tebal. Kerling matahari makin tajam detik demi detik.

Dalam kutipan di atas sudah dapat dilihat bahwa penulis memulai ceritanya dengan personifikasi benda-benda yang ada di bumi. Pada paragraf berikutnya penulis memperkuat personifikasi ini dengan memunculkan dialog antara matahari dengan Tuhan.

Panas saja yang ia minta dari Tuhan untuk bumi. Sudah muak matahari melihat milyaran manusia di bumi. Mungkin hanya beberapa saja yang membuatnya bertahan menunai tugasnya. Ah, usai matahari bahkan sudah terlampau ringkih. Awan terkadang ia jadikan alasan untuk istirahat menyinari bumi. “Tuhan… sampai kapan tugas ku akan berakhir?” keluh matahari suatu hati. Namun Tuhan hanya tersenyum saja, “Mau kah kau menjadi hamba-Ku yang taat kepada-Ku?”

Ah, mengapa matahari melupakan itu. Akhirnya, matahari kembali tersadar fitrahnya. Yah, fitrahnya adalah menjadi hamba Tuhan yang taat, mengerjakan apa saja yang Ia titahkan kepadanya.

Personifikasi, pengumpamaan (perlambangan) benda mati sebagai orang atau manusia (KBBI), merupakan salah satu gaya bahasa yang digunakan oleh penulis puisi maupun penulis cerpen untuk membuat karyanya menarik. Agaknya personifikasi ini pulalah yang menjadi kekuatan cerpen Athifaturrohmah sehingga dia bebas berimajinasi untuk “menghidupkan” benda-benda yang ada di dunia ini.

Sederhana, sebetulnya Athifaturrohmah ingin menyampaikan bahwa dunia ini sudah sedemikian bobroknya. Andaikan benda-benda yang ada di bumi ini bisa berbicara, berkeluh kesah, dan menolak kehendak Tuhan, mungkin manusia akan menanggung akibat dari kebobrokan yang diciptakannya sendiri. Namun demikian, penulis tetap mengungkapkan sisi lain dari dunia ini yang masih menyisakan manusia-manusia yang menjadi hamba Tuhan yang taat. Hal inilah yang salah satunya mampu menjadi penyelamat manusia dari kehancuran.

Sebagai penulis pemula Athifaturrohmah sepertinya sangat berhati-hati dalam memilih kata-kata untuk menyampaikan idenya. Kata-kata khusus yang jarang digunakan, oleh Athifaturrohmah dipakai sebagai penguat estetika bentuk. Sebagai contoh, Athifaturrohmah menggunakan istilah “matahari mendongak, matahari membelalak, rembulan menyala, dan kerling matahari”. Belum lagi penggunaan istilah “saga” sebagai upaya penggambaran cahaya matahari yang merah menyala dan penggunaan istilah “konstelasi gemintang” sebagai upaya penggambaran sekumpulan bintang. Terkesan berlebihan, tetapi dapat dianggap sebagai sebuah kelebihan.

Rupanya keasyikan Athifaturrohmah merangkai kata-kata yang indah membuatnya luput memperhatikan kata-kata yang semestinya dibentuk dengan lengkap. Misalnya pada kutipan berikut “Mungkin hanya beberapa saja yang membuatnya bertahan menunai tugasnya.” Dalam cerpen rasanya tidak perlu menghilangkan akhiran –kan dalan kata ”menunai(kan)”. Hal ini malah akan membuat pembaca merasa seolah-olah ada kata yang hilang. Kalau sebuah puisi rasanya memang perlu menghilangkan salah satu unsur kata untuk mengejar keindahan bunyi dan bentuk. Akan tetapi, deskripsi yang lengkap pada sebuah cerpen diperlukan untuk memberikan cerita yang lengkap kepada pembaca.

Secara umum, cerpen Athifaturrohmah menarik dan memiliki ciri khas. Kelemahan yang cukup menonjol yakni pada kecermatan penulis dalam menempatkan tanda baca, seperti tanda titik, koma, dan huruf kapital. Beberapa kalimat juga tidak memiliki subjek sehingga terkesan sebagai kalimat yang belum selesai yang seharusnya bisa digabungkan dengan kalimat sebelumnya. Misalnya pada kutipan berikut,

Matahari mendongak. Mencari-cari keberadaan ruh lelaki itu. Tapi dia tersenyum lagi. Menunduk. Matanya mencari-cari sosok seperti lelaki itu. Lalu tersenyum menatap senja yang sudah siap menjalankan tugasnya.

Senja begitu saga. Rembulan pun sudah menyala. Dan konstelasi gemintang pun sudah bersiap di sebelah utara cintanya.

Semoga Athifaturrohmah semakin produktif dan kreatif menghasilkan karya sastra tanpa berhenti belajar sehingga menghasilkan karya sastra yang semakin bermutu.

Diterbitkan di Radar Lampung, pada tanggal 15 Ferbuari 2009




Pucuk Mentari

*Athifaturrohmah

Awan berarak perlahan. Seperti biasa, ia tunaikan tugasnya mengelilingi bumi yang semakin basah menemani langit yang sering merasa sendiri. Yah, bumi semakin basah karena kering tanah menguap bersama milyaran liter peluh di tubuh kekar buruh. Lalu terguyur jutaan mili hujan yang sudah berkadar asam.

Sedang matahari semakin terik dipandangi mata-mata pendosa yang terkekeh atas maksiat yang terus saja mereka jalani. Matahari tak tahan, lekat tatapan makhluk pendosa itu tertuju padanya seraya mengumbar kenikmatan aurat yang harusnya terbalut kain tebal. Kerling matahari makin tajam detik demi detik.

Panas saja yang ia minta dari Tuhan untuk bumi. Sudah muak matahari melihat milyaran manusia di bumi. Mungkin hanya beberapa saja yang membuatnya bertahan menunai tugasnya. Ah, usai matahari bahkan sudah terlampau ringkih. Awan terkadang ia jadikan alasan untuk istirahat menyinari bumi. “Tuhan… sampai kapan tugas ku akan berakhir?” keluh matahari suatu hati. Namun Tuhan hanya tersenyum saja, “Maukah kau menjadi hamba-Ku yang taat kepada-Ku?”

Ah, mengapa matahari melupakan itu. Akhirnya, matahari kembali tersadar fitrahnya. Yah, fitrahnya adalah menjadi hamba Tuhan yang taat, mengerjakan apa saja yang Ia titahkan kepadanya.

Semangat baru itu ia munculkan kembali. Sulit memang. Tapi tanpa semangat itu, ia tak mungkin dapat bertahan hanya untuk menyinari bumi. Ia sebenarnya lebih senang melihat tetangga-tetangga bumi yang senantiasa bertasbih. Dari Merkurius sampai Uranus, bahkan komet yang sesekali bertemu dengannya bertasbih, bertakbir.

Namun, sebenarnya Ia tidak ingin menyalahkan bumi. Ia tahu, bumi memang memiliki tugas yang sangat berat yang Tuhan titipkan untuknya. Ah, sebenarnya matahari tak menyalahkan bumi. Ya, ia tak menyalahkan bumi sedikit pun. Bahkan, ia menaruh simpati kepada bumi. Lihatlah, walau keadaannya yang kian lama kian ringkih itu. Ia tetap berusaha mengingat Tuhan. Ia bertasbih. Bahkan, yang jarang bahkan sama sekali tidak pernah dilakukan oleh planet-planet lain. Istighfar. Yah, matahari sangat kagum sebenarnya kepada bumi. Ia begitu kuat. Sekali lagi, matahari tak menyalahkan bumi. Bahkan ia sangat simpati kepada bumi. Ah, bumi pun tetap berasabar atas tugasnya. Ada apa denganku? Berulangkali hanya itu yang ia pikirkan

Sore itu matahari tersenyum melihat sesosok lelaki sedang bertasbih di bawah terik dirinya. Matahari menatapnya lekat. “Benarkah manusia seperti itu masih berpijak di bumi.” Matahari heran. Ia melihat lelaki itu membaca al-quran yang selalu ia bawa kemanapun.

“Alhamdulillah… Kau masih memberi karunia panas untuk bumi-Mu ini ya Allah…” begitu ujar lelaki itu setelah selesai membaca al-quran. Terlihat peluh di dahi yang ia hapus dengan tangannya. Matahari terpikat. Bahkan cucu Adam yang satu ini masih bisa bersyukur.

Ekor mata matahari mengikuti langkah lelaki itu. Senyumnya yang lama ia sembunyikan akhirnya tersungging lama di bibir delimanya. Ah, lelaki itu membuat matahari senang.

Langit menunggu senja hari ini begitu lama. Ditatapnya matahari yang terlihat serius. Langit segan menegur matahari. Mungkin sebentar lagi matahari berarak menuju peraduan senjanya. Ah, atau…

Langit tak berani melanjutkan perkataannya.

Senyum matahari menyapa langit, “Siap untuk senja hari ini?”

Langit sedikit terkaget. Tumben sekali matahari terlihat begitu bahagia. “Yah… aku selalu siap. Dengan saga yang kau beri. Sungguh aku sudah merindunya.” Langit membalas senyuman matahari.

Saga senja kali ini terlihat begitu cerah. Begitu penilaian langit. Ia senang sekali. Pasti banyak manusia yang mengagumi kelembutan senja kali ini. Ah, nikmatnya menjadi langit senja.

Langit masih menikmati saganya. Dengan sabar malam menunggui kelam yang akan ia tumpahkan kepada bumi. Malam heran menatap langit senja yang begitu riang.

Namun beberapa saat kemudian langit melihat kelam tertumpah ke bumi. Ah, indah. “Mengapa hari ini ia rasa begitu indah?” pertanyaan yang langit simpan sendiri.

Bulan sebenarnya sudah menemani senja terlebih dahulu.

Matahari begitu bahagia. Bahkan bulan pun tak ketinggalan mendapat sinaran yang lebih terang dari biasanya. Malam ia lalui dengan tasbih yang lebih banyak dari biasanya.

Malam kali ini begitu tenang dan terasa damai.

Matahari melirik bumi. Mata merahnya mencari-cari sosok yang kemarin membuat kebahagiaan padanya. Matanya sedikit terbelalak saat ia teringat harum cucu Adam yang kemarin ia temui. “Ah, di mana dia?” matahari bergumam sendiri.

Di belahan bumi bagian timur.

“Innalillahi… Faqih berpulang ke rahmatullah…” sesosok manusia tercekat matanya melihat jenazah yang telah terbalut kafan terbaring di kelilingi sanak keluarganya.

Matahari masih mencari sosok yang menyelimuti kebahagiaan padanya saat kemarin. Matanya seolah tak kenal lelah tuk hari ini. Ah, matahari sangat merindukan manusia itu.

Bau harum lelaki itu semakin menyengat. Mata matahari tak hentinya mencari dimana sosok lelaki itu. Ah, kini matanya tertuju pada sesakan manusia mengiring jenazah. Mata matahari membelalak. Jenazah itu. Yah, jenazah itu menyerbak wangi yang sedari tadi dicari matahari. Matahari menderu. Gas-gas heliumnya sudah jutaan cc yang terlempar dari kekar tubuh tuanya. Namun tak kuasa ia. Badannya terasa begitu lemas. Tapi, tiba-tiba senyuman merekah dari bibirnya. Yah, dia tersenyum. Mengiring kepergian lelaki yang ia kagumi itu. Ia yakin. Ruhnya telah diangkat para malaikat ke langit cinta.

Matahari mendongak. Mencari-cari keberadaan ruh lelaki itu. Tapi dia tersenyum lagi. Menunduk. Matanya mencari-cari sosok seperti lelaki itu. Lalu tersenyum menatap senja yang sudah siap menjalankan tugasnya.

Senja begitu saga. Rembulan pun sudah menyala. Dan konstelasi gemintang pun sudah bersiap di sebelah utara cintanya.

0 Comments:

Post a Comment



Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda