Bahasa dan Nasionalisme
*Yulfi Zawarnis
Madras mengingatkan kita pada sebuah wilayah di India selatan yang mayoritas penduduknya berkulit hitam. Nama wilayah ini kembali mencuat di beberapa negara di Asia terkait masalah rasial. Di Medan baru-baru ini masyarakat Indonesia asal Madras India Selatan ini menggelar pesta rakyat untuk merayakan perubahan nama Kampung Keling, yang identik dengan mereka, menjadi Kampung Madras.
Sebuah artikel di media massa ibukota pernah menuliskan bahwa bahasa tidak saja sebagai alat komunikasi, tetapi juga mampu menusuk perasaan dan membuat sekelompok masyarakat merasa tersingkir oleh kesinisan yang terkandung di dalamnya. Lalu apakah kaitannya dengan perubahan nama Kampung Keling menjadi Kampung Madras? Menurut tokoh warga Tamil di Medan, sejatinya, istilah keling merujuk pada kekuasaan raja Kalingga (di India). Kamus Besar Bahasa Indonesia mencatat istilah Keling diartikan sebagai orang berkulit hitam yang berasal dari India sebelah selatan. Istilah keling bertukar menjadi istilah yang menghina sejak pertengahan 1970-an. Perlahan istilah keling mulai diasosiasikan dengan hal-hal yang kurang menyenangkan. Kulit hitam legam lebih ditonjolkan dibandingkan kelebihan yang dimiliki kelompok masyarakat ini. Gaya hidup yang suka bermabuk-mabukan dan premanisme mulai diidentikkan dengan mereka. Atas dasar itulah kemudian kelompok masyarakat ini berinisiatif untuk mengganti sebutan keling menjadi Madras. Perubahan ini tidak saja terjadi di Indonesia, tetapi sampai ke Negara-negara di Asia lainnya yang masih menggunakan istilah keling, seperti Malaysia dan Singapura.
Bahasa memang “organ vital” kemanusiaan, itulah kenyataannya. Pada zaman reformasi, kita masih ingat sekelompok orang yang menolak disebut cina karena menurut mereka istilah itu bernada sinis, menghina, kasar, dan bermakna negatif. Lalu kemudian media massa tidak lagi menuliskan istilah itu dan menggantinya dengan China, Tiongkok, atau Tionghoa. Lalu apa bedanya ketiga istilah ini? Menurut pakar bahasa Mandarin, Dr. Hermina Sutami, kata cina tidak berasal dari bahasa-bahasa negara Cina melainkan dari bahasa Sansekerta, chîna, yang berarti ‘daerah pinggiran’. Kata cina itu sendiri digunakan untuk menamakan negara yang berbudaya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, cina adalah sebuah Negeri di Asia; Tiongkok. Istilah Tionghoa dan Tiongkok ini sudah muncul di Indonesia sejak zaman Presiden Soekarno dan pada masa Presiden Soeharto diganti menjadi cina.
Rasanya menjadi tidak beralasan jika istilah cina dianggap lebih bermakna negatif dibanding istilah china. Bukankah kedua istilah ini sama saja? Hanya saja cina merupakan bahasa Indonesia dan china merupakan bahasa asing. Pun demikian dengan istilah keling yang memang makna aslinya tidak memiliki konotasi yang buruk sedikitpun. Jika kemudian muncul asosiasi yang negatif terhadap kata atau istilah yang bermakna netral, seperti keling dan cina ini, tentunya perlu pertimbangan yang matang untuk menggantinya. Masyarakat kita memang berasal dari berbagai suku dan bangsa, tetapi kita satu dalam Indonesia. Masalah bahasa tidak semata masalah rasa dan anggapan, tetapi juga masalah citra diri, identitas, dan nasionalisme.
Sebuah artikel di media massa ibukota pernah menuliskan bahwa bahasa tidak saja sebagai alat komunikasi, tetapi juga mampu menusuk perasaan dan membuat sekelompok masyarakat merasa tersingkir oleh kesinisan yang terkandung di dalamnya. Lalu apakah kaitannya dengan perubahan nama Kampung Keling menjadi Kampung Madras? Menurut tokoh warga Tamil di Medan, sejatinya, istilah keling merujuk pada kekuasaan raja Kalingga (di India). Kamus Besar Bahasa Indonesia mencatat istilah Keling diartikan sebagai orang berkulit hitam yang berasal dari India sebelah selatan. Istilah keling bertukar menjadi istilah yang menghina sejak pertengahan 1970-an. Perlahan istilah keling mulai diasosiasikan dengan hal-hal yang kurang menyenangkan. Kulit hitam legam lebih ditonjolkan dibandingkan kelebihan yang dimiliki kelompok masyarakat ini. Gaya hidup yang suka bermabuk-mabukan dan premanisme mulai diidentikkan dengan mereka. Atas dasar itulah kemudian kelompok masyarakat ini berinisiatif untuk mengganti sebutan keling menjadi Madras. Perubahan ini tidak saja terjadi di Indonesia, tetapi sampai ke Negara-negara di Asia lainnya yang masih menggunakan istilah keling, seperti Malaysia dan Singapura.
Bahasa memang “organ vital” kemanusiaan, itulah kenyataannya. Pada zaman reformasi, kita masih ingat sekelompok orang yang menolak disebut cina karena menurut mereka istilah itu bernada sinis, menghina, kasar, dan bermakna negatif. Lalu kemudian media massa tidak lagi menuliskan istilah itu dan menggantinya dengan China, Tiongkok, atau Tionghoa. Lalu apa bedanya ketiga istilah ini? Menurut pakar bahasa Mandarin, Dr. Hermina Sutami, kata cina tidak berasal dari bahasa-bahasa negara Cina melainkan dari bahasa Sansekerta, chîna, yang berarti ‘daerah pinggiran’. Kata cina itu sendiri digunakan untuk menamakan negara yang berbudaya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, cina adalah sebuah Negeri di Asia; Tiongkok. Istilah Tionghoa dan Tiongkok ini sudah muncul di Indonesia sejak zaman Presiden Soekarno dan pada masa Presiden Soeharto diganti menjadi cina.
Rasanya menjadi tidak beralasan jika istilah cina dianggap lebih bermakna negatif dibanding istilah china. Bukankah kedua istilah ini sama saja? Hanya saja cina merupakan bahasa Indonesia dan china merupakan bahasa asing. Pun demikian dengan istilah keling yang memang makna aslinya tidak memiliki konotasi yang buruk sedikitpun. Jika kemudian muncul asosiasi yang negatif terhadap kata atau istilah yang bermakna netral, seperti keling dan cina ini, tentunya perlu pertimbangan yang matang untuk menggantinya. Masyarakat kita memang berasal dari berbagai suku dan bangsa, tetapi kita satu dalam Indonesia. Masalah bahasa tidak semata masalah rasa dan anggapan, tetapi juga masalah citra diri, identitas, dan nasionalisme.
0 Comments:
Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda
Langganan:
Posting Komentar (Atom)