Diposting oleh
ERZA
di
00.35
Kecermatan Dalam Menulis Puisi
Erwin Wibowo,
Pemerhati Sastra, Alumni Universitas Nasional, Jakarta
Menulis puisi bukanlah hal yang sulit, tetapi juga tidak mudah. Saya yakin setiap orang pernah menuliskan ide maupun perasaannya dalam bentuk puisi. Terlepas dari mutu dan kualitas yang dihasilkan, paling tidak melalui puisi ada ide besar yang ingin diungkapkan oleh penulisnya. Tema-tema yang kerap diangkat menjadi sebuah puisi biasanya berkisar seputar masalah percintaan dan tema-tema kemanusiaan. Bukan hanya sekedar merangkai kata-kata menjadi suatu untaian kata yang indah, tetapi menulis puisi diperlukan juga ‘rasa’ didalamya, sehingga kata yang terangkai mempunyai makna jelas.
Membaca puisi-puisi Leni Marlina “Beku Dalam Kalbu”, “Kosong”, “Celoteh Kacau”, “Tinta Hitam” dan “Luapan Hati” yang terasa pertama kali adalah pemakaian kata yang tidak sederhana, dalam puisi ini Leni memakai banyak metafora dan penuh imajinasi. Pada puisi “Beku Dalam Kalbu” Leni mencoba membawa kita ke dalam suasana kesunyian, kebimbangan, dan ketidakberdayaan seseorang dalam mengarungi hidup. Pada bait pertama Leni mencoba berimajinasi tentang isi hati yang sedang galau, Serumpun hati meraga, menanah, muntah /kebimbangan antara nyata dan dusta / Merontah tak kuasa tertepis kian hari / rapuh dan tak berarti. Ada yang menarik dalam puisi “Beku Dalam Kalbu”, ketika kata meraga, menanah, muntah, dihadirkan beruntun oleh Leni, sehingga pembukaan puisi ini sudah mendapatkan kesan emosional.
Puisi “Beku Dalam Kalbu” setidaknya menghadirkan sebuah kontemplasi pada setiap kata yang dipilihnya. Kata Ruah pada bait keempat, terdapat ketaksaan arti. Kata Ruah dapat berarti melimpah ruah, melimpah atau memanggil. Ruah kata hilang terterpa sabutan angin.
Pemilihan kata yang disuguhkan oleh Leni sudah bisa dibilang baik. Pada puisi “Celoteh Kacau”, setidaknya saya menemukan beberapa pemilihan kata yang baik. Seperti bait Tukasnya untukmu, kata tukas disini dimaksudkan kata ucap atau bilang. Atau seperti kata muncrat pada bait Merah muncrat jadi lukisan berharga. Merah dalam bait ini dihadirkan Leni untuk memberikan maksud hati yang sedang marah. Apalagi dengan pemunculan kata muncrat yang mempunyai arti mengeluarkan cairan dengan deras dan tak terkendali, sehingga bait itu setidaknya mempunyai arti kemarahan yang selalu mewarnai hidup “aku lirik”. Akan tetapi, Leni harus cermat dalam memilih kata yang akan dipakai untuk puisinya, Tapi kau hanya serngitkan dahi. Pada kata serngitkan, mungkin maksud Leni adalah kernyit yang mempunyai arti mengerutkan alis.
Pada puisi “Kosong”, Leni mencoba mengisahkan kegelisahan yang dialami “aku lirik”. Gerak meronta,memaksa ditepis/ salah hidup, salah angan/ dendang kasih hinag terbang/ ufuk tak hirau dan aku terkoyah. Dalam bait ini leni mencoba menghadirkan Sebuah kontemplasi atas sebuah perjalanan hidup yang panjang. Salah hidup, salah angan, sebuah pernyataan tentang jalan hidup yang membawa sebuah keterpukuran.
Sepertinya untuk menjalankan hidup yang lebih baik sepertinya sulit didapat oleh “aku lirik”, didekap penuh ida, tak terasa/ dibelai penuh raga, tapi terhempas/ dalam nada sumbang/ sebuah kehidupan. Mencoba merengkuh hidup dengan sepenuh kasih, tetapi sulit untuk untuk dirasakan, menjalankan hidup dengan sepenuhnya, tetapi malah terbuang.
Pemilihan bunyi, kata, dan kalimat dalam puisi ini sudah cermat sehingga memberikan nilai estetis dan puitis. didekap penuh ida, tak terasa/ dibelai penuh raga, tapi terhempas. Pemilihan bunyi a, e, dan u yang dikombinasikan dengan bunyi d dan g, dapat memberikan kesan kesedihan.
Pada bait ketiga leni masih menjaga kekuatan puisinya dengan pemakaian metafor untuk sesuatu yang ingin disampaikannya menghampa dunia kaca mata maya. Seakan-akan hidup yang dijalani oleh “aku lirik” sedah tidak ada artinya, keinginan untuk menjadi lebih baik hanya menjadi angan-angan belaka.
Lain halnya pada puisi “Luapan Hati” Leni mencoba menghadirkan puisi yang sederhana, tidak dengan metafora, itu terlihat dari pemakaian kata dalam puisinya. Lagi-lagi Leni memberi suatu gambaran hati yang sedang kacau. kata seperti hilang, kosong, kering, rapuh, pahit, manis, asam adalah kata-kata yang sederhana. Akan tetapi, dengan kata-kata itu terlihat jelas bagaimana suasana yang sedang dialami oleh “aku lirik”. Serekat ini puing luluhku. Sepertinya cobaan hidup yang begitu berat sampai “aku lirik” sudah merasa tidak kuat lagi untuk menjalaninya. Pada bait kedua ini, Leni lagi-lagi memakai metafora untuk menyampaikan maksud yang ingin disampaikan. Meradang di tangga-tangga nada sunyi. Meradang yang mempunyai arti menjadi bengkak dan keluar gerah bening. Dalam puisi ini, meradang bisa berarti situasi yang sudah buruk dan tidak tahu kapan akan berakhir.
Secara keseluruhan puisi yang ditulis oleh Leni sudah sangat baik, pemakaian metafora dan pemilihan diksi memperlihatkan bahwa Leni sangat berbakat dalam menulis puisi. Akan tetapi, akan lebih baik jika Leni terus belajar dan membaca karya sastra agar nantinya Leni mendapat banyak pengetahuan untuk menciptakan metafora.
Membaca puisi-puisi Leni Marlina “Beku Dalam Kalbu”, “Kosong”, “Celoteh Kacau”, “Tinta Hitam” dan “Luapan Hati” yang terasa pertama kali adalah pemakaian kata yang tidak sederhana, dalam puisi ini Leni memakai banyak metafora dan penuh imajinasi. Pada puisi “Beku Dalam Kalbu” Leni mencoba membawa kita ke dalam suasana kesunyian, kebimbangan, dan ketidakberdayaan seseorang dalam mengarungi hidup. Pada bait pertama Leni mencoba berimajinasi tentang isi hati yang sedang galau, Serumpun hati meraga, menanah, muntah /kebimbangan antara nyata dan dusta / Merontah tak kuasa tertepis kian hari / rapuh dan tak berarti. Ada yang menarik dalam puisi “Beku Dalam Kalbu”, ketika kata meraga, menanah, muntah, dihadirkan beruntun oleh Leni, sehingga pembukaan puisi ini sudah mendapatkan kesan emosional.
Puisi “Beku Dalam Kalbu” setidaknya menghadirkan sebuah kontemplasi pada setiap kata yang dipilihnya. Kata Ruah pada bait keempat, terdapat ketaksaan arti. Kata Ruah dapat berarti melimpah ruah, melimpah atau memanggil. Ruah kata hilang terterpa sabutan angin.
Pemilihan kata yang disuguhkan oleh Leni sudah bisa dibilang baik. Pada puisi “Celoteh Kacau”, setidaknya saya menemukan beberapa pemilihan kata yang baik. Seperti bait Tukasnya untukmu, kata tukas disini dimaksudkan kata ucap atau bilang. Atau seperti kata muncrat pada bait Merah muncrat jadi lukisan berharga. Merah dalam bait ini dihadirkan Leni untuk memberikan maksud hati yang sedang marah. Apalagi dengan pemunculan kata muncrat yang mempunyai arti mengeluarkan cairan dengan deras dan tak terkendali, sehingga bait itu setidaknya mempunyai arti kemarahan yang selalu mewarnai hidup “aku lirik”. Akan tetapi, Leni harus cermat dalam memilih kata yang akan dipakai untuk puisinya, Tapi kau hanya serngitkan dahi. Pada kata serngitkan, mungkin maksud Leni adalah kernyit yang mempunyai arti mengerutkan alis.
Pada puisi “Kosong”, Leni mencoba mengisahkan kegelisahan yang dialami “aku lirik”. Gerak meronta,memaksa ditepis/ salah hidup, salah angan/ dendang kasih hinag terbang/ ufuk tak hirau dan aku terkoyah. Dalam bait ini leni mencoba menghadirkan Sebuah kontemplasi atas sebuah perjalanan hidup yang panjang. Salah hidup, salah angan, sebuah pernyataan tentang jalan hidup yang membawa sebuah keterpukuran.
Sepertinya untuk menjalankan hidup yang lebih baik sepertinya sulit didapat oleh “aku lirik”, didekap penuh ida, tak terasa/ dibelai penuh raga, tapi terhempas/ dalam nada sumbang/ sebuah kehidupan. Mencoba merengkuh hidup dengan sepenuh kasih, tetapi sulit untuk untuk dirasakan, menjalankan hidup dengan sepenuhnya, tetapi malah terbuang.
Pemilihan bunyi, kata, dan kalimat dalam puisi ini sudah cermat sehingga memberikan nilai estetis dan puitis. didekap penuh ida, tak terasa/ dibelai penuh raga, tapi terhempas. Pemilihan bunyi a, e, dan u yang dikombinasikan dengan bunyi d dan g, dapat memberikan kesan kesedihan.
Pada bait ketiga leni masih menjaga kekuatan puisinya dengan pemakaian metafor untuk sesuatu yang ingin disampaikannya menghampa dunia kaca mata maya. Seakan-akan hidup yang dijalani oleh “aku lirik” sedah tidak ada artinya, keinginan untuk menjadi lebih baik hanya menjadi angan-angan belaka.
Lain halnya pada puisi “Luapan Hati” Leni mencoba menghadirkan puisi yang sederhana, tidak dengan metafora, itu terlihat dari pemakaian kata dalam puisinya. Lagi-lagi Leni memberi suatu gambaran hati yang sedang kacau. kata seperti hilang, kosong, kering, rapuh, pahit, manis, asam adalah kata-kata yang sederhana. Akan tetapi, dengan kata-kata itu terlihat jelas bagaimana suasana yang sedang dialami oleh “aku lirik”. Serekat ini puing luluhku. Sepertinya cobaan hidup yang begitu berat sampai “aku lirik” sudah merasa tidak kuat lagi untuk menjalaninya. Pada bait kedua ini, Leni lagi-lagi memakai metafora untuk menyampaikan maksud yang ingin disampaikan. Meradang di tangga-tangga nada sunyi. Meradang yang mempunyai arti menjadi bengkak dan keluar gerah bening. Dalam puisi ini, meradang bisa berarti situasi yang sudah buruk dan tidak tahu kapan akan berakhir.
Secara keseluruhan puisi yang ditulis oleh Leni sudah sangat baik, pemakaian metafora dan pemilihan diksi memperlihatkan bahwa Leni sangat berbakat dalam menulis puisi. Akan tetapi, akan lebih baik jika Leni terus belajar dan membaca karya sastra agar nantinya Leni mendapat banyak pengetahuan untuk menciptakan metafora.
Leni Marlina
SMAN 1 Gadingrejo tanggamus
Beku dalam kalbu
Serumpun hati meraga, menanah, muntah
Kebimbangan antara nyata dan dusta
Merontah tak kuasa tertepis kian hari
Rapuh dan tak berarti
Titisan makna menjulang di umbun jiwa
Mengharap cahaya tertera dalam raga
Menyelubung takkan membendung
Membasah tak kuasa merontah
Cahaya itu dulu membalutku
Tapi kini tak tahu kemana
Rintihan pikir kritis akan dusta
Kata merebah jadi asa paksa
Ruah kata hilang terterpa sabutan angin
Membisu, tak mampu memanggil sinar suci
Hanya beku memapar dalam kalbu
Tuhan tolong ajari aku
By: Leni Marlina
CELOTEHAN KACAU
Hati tercabik
Mereguk sunyi, bimbang dan sepi
Kata tak bermakna
Terangkai dalam bingkai rumit
Terkunci sejenak nadi
Tukasnya untukmu
Tuntas sudah harap bukan tiarap
Karena mati tak tersusun nadi
Elok katamu bersahaja
Merah muncrat jadi lukisan berharga
Jangan disentuh katamu
Tarap-tarap hidup lepas
Masa bodoh dengan aturan tak terlandas
Tanduk-tanduk kesengsaran itu hanya imitasi
Katamu lihai tak permai
Nyaman perut disanggah
Hati merontah tak terasa
“dia tuli” katanya padamu
Tapi kau hanya serngitkan dahi
Tanpa ucap sepatah kata
By: Leni Marlina
TINTA HITAM
Menitik erat tinta hitam
Tinta hitam yang kau guyurkan
Tinta pengkristal luka
Cabik jiwa, merongrong di hati
Penyebar tinta hitam
Hapuskan noda yang terukir ini
Pipiskan bersama sang bayu
Congkel dosa yang merebah dalam nadi
Wahai kau penyebar tinta hitam
Tirai-tirai makna ini telah menggenggam sanubari
Merasuk dalam sumsum nada
Jadi alunan sumbang
Nan menggema di sudut-sudut hati
Wahai kau penyebar tinta hitam
Aku telah rapuh
Terkayah-koyah dalam Lumpur kenistaan
Nan muncul dari setitik tinta hitam
Tak mengertikah kau
Rintih disetiap nafas hidupku…
By. Leni Marlina
LUAPAN HATI
Hilang…
Kosong…
Kering….
Rapuh…..
Gambaran hatiku
Pahit…
Manis….
Asam….
Getir….
Pedih…..
Rasa lukaku….
Serekat ini puing luluhku
Meradang di tangga-tangga nada sunyi
Menunggu…
Dalam luka galauku
Memucuk rangkaian rindu
Dalam kalbu biru
By. Leni marlina
0 Comments:
Langganan:
Posting Komentar (Atom)