Waktu Yang Terlupakan. Kami ingin mencoba menghargai waktu, walaupun yang kami perbuat masih terlalu kecil. Kami ingin mencoba menghargai waktu yang ternyata membuat kami sedikit demi sedikit menjadi bijak dan berharga. Kami ingin mencoba menghargai waktu dengan cara yang sederhana. Waktu Yang Terlupakan. Waktu terkadang lewat dengan begitu saja tanpa tau apa yang telah kita perbuat.
SATU WINDU DI TELUKBETUNG
Berharap pada cita
Yang terbawa oleh panas cahaya
Berharap pada penantian
Yang terbang bersama kepastian
Berharap pada khayalan
Yang terkikis oleh hari
Cahaya.....
Kepastian.....
Hari.....
Yang tak sempat terhitung oleh waktu
Erwin wibowo
INTUISI
Sampan itu terbawa menjauh
Oleh desiran-desiran riak
Layar yang terbentang
Membawa tiada arah
Mengembara kesegala semesta
Bersandar jika semu menjadi nyata
Berbekal janji yang terbungkus suci
Membawa sebuah kesetian dan
Kejujuran untuk tidak terdampar
Erwin wibowo
Ketika Dina Mengusung Tanya
*Yulfi Zawarnis
Membaca “Kau dan Diammu” karya Peristianika mengingatkan saya pada kisah “Ratapan Anak Tiri” dan kisah “Siti Nurbaya”. Kedua kisah yang dikenal banyak orang ini bertemakan cinta dan kasih sayang, tema yang selalu menarik untuk diangkat. Entah ada kaitannya atau tidak, tetapi tema ini juga saya temukan dalam cerpen karya Dina. Kasih sayang yang bisa dimaknai secara luas, antara makhluk berlawanan jenis, antara orangtua dengan anaknya, dan antara adik dengan kakaknya. Ada kisah perjodohan yang membawa petaka dan ada kisah tentang anak yang tidak dikasihi oleh orangtuanya.
Menarik! Cerita ini diawali dengan pernyataan yang menggugah dan menggiring pembaca untuk segera membaca kisah selanjutnya. “Dia baru saja benar-benar pergi untuk selamanya pagi tadi dan malam ini aku masuk ke kamarnya diam-diam. Seperti aku yang diam-diam benci pada Bapakku yang menganggapnya anak yang tak berbakti.” Paling tidak ada lima pertanyaan menarik dari paragraf pembuka ini. Siapa yang baru saja benar-benar pergi, pergi ke mana, mengapa harus masuk kamarnya diam-diam, apa yang menyebabkan tokoh “aku” diam-diam membenci bapaknya, dan mengapa tokoh “bapak” menganggap tokoh “kakak” sebagai anak yang tak berbakti? Berangkat dari paragraf pembuka yang menimbulkan banyak pertanyaan inilah Dina mengembangkan ceritanya menjadi sebuah kisah yang menarik untuk terus diikuti.
Selanjutnya, pembaca dibawa terlena dengan penceritaan tokoh “aku” mengenai bagaimana dia mengenang kakaknya yang baru saja meninggal dunia. Tokoh “kakak” yang kemudian diketahui bernama Irmanisha diceritakan sebagai wanita pendiam dan sangat patuh pada orangtuanya. Dia tidak punya kuasa untuk menolak perjodohan dirinya dengan laki-laki yang tidak dicintainya dan rela memutuskan hubungan kasih dengan orang yang dia sayangi demi menunjukkan kepatuhannya pada orangtuanya.
Sangat mengejutkan ketika kemudian Irmanisha mati di tangan laki-laki itu, ketika mereka sudah bercerai. Peristiwanya terjadi ketika Irmanisha akan melakukan pertunangan dengan lelaki yang dicintainya. Tapi tiba-tiba mantan suaminya, Mas Arul, datang dan menampar mantan istrinya itu yang menyebabkan Irmanisha meninggal karena kepalanya terbentur ke dinding. Pemukulan sendiri disebabkan oleh tuduhan Mas Arul terhadap Irmanisha yang dianggap telah mencuri uang tabungannya.
Di balik itu semua, Irmanisha digambarkan sebagai gadis yang tidak mendapatkan kasih sayang yang semestinya dari kedua orangtuanya. Pada akhir cerita, penulis menyajikan fakta yang (kemungkinan) menjadi penyebab mengapa Irmanisha diperlakukan tidak sebagaimana layaknya seorang anak. Sebuah fakta bahwa tokoh kakak bukan anak kandung dari orangtua yang selama ini merawatnya. Hal ini cukup menarik karena fakta itu baru diketahui tokoh “aku” ketika dia menziarahi makam kakaknya. Sedikit janggal, tetapi penyajian fakta ini memberikan nuansa tersendiri dalam cerpen karya Dina. Pembaca tidak akan menduga bahwa fakta mengenai Irmanisha yang bukan anak kandung dari orangtua yang selama ini merawatnya baru diketahui setelah Irmanisha meninggal beberapa lama yakni melalui nama yang tertera di batu nisannya.
Bahwa pada akhir ceritanya tokoh “aku” pun mengalami nasib yang sama, dijodohkan dengan orang yang tidak dicintainya, menjadi bagian tersendiri yang masih terkait dengan cerita sebelumnya, dan menjadi penyambung ide antara pengungkapan identitas kakak dengan kisah yang menimpa “aku”.
Tampaknya Dina bukanlah penulis yang baru pertama kali membuat cerpen. Hal ini terlihat dari gayanya bercerita yang telah mampu memanfaatkan teknik bercerita yang tidak monoton. Dina memanfaatkan alur kilas balik yang cukup apik yang membuat pembaca bertanya-tanya bagaimana akhir cerita itu.
Sedikit catatan tentunya dapat menjadi pemacu Dina ataupun siswa lain yang ingin membuat cerpen agar cerita yang disajikan semakin baik. Menulis cerpen tentunya tidak sama dengan menulis puisi. Selain dari segi bentuk, cerpen dan puisi tentu saja berbeda dalam mengolah bahasa sebagai media berkarya. Bahasa puisi adalah bahasa yang singkat, padat, bahkan multitafsir. Akan tetapi, bahasa cerpen lebih lugas dan jelas, sebisa mungkin menghindari kata-kata yang bermakna ganda.
Menulis cerpen berarti menyajikan sebuah cerita dengan bahasa yang lugas dan logis sehingga pembaca dapat memahami dan mengapresiasi cerpen itu dengan baik. Tampaknya Dina kurang cermat ketika menggunakan kata “kau” (yang seharusnya “aku”) pada kalimat “Janda muda yang kau kagumi itu adalah satu-satunya kakak perempuanku.” Juga penggunaan kata “berlahan” yang seharusnya “perlahan” pada “…titik-titik air dari mata berkabutmu jatuh berlahan.” Kekurangcermatan ini tidak mengganggu jalan cerita secara keseluruhan, tetapi cukup mengganjal bagi pembaca yang menikmati cerpen ini dengan cermat.
Satu hal lagi yang patut menjadi catatan adalah bagaimana penulis mampu menempatkan diri sesuai dengan zamannya. Bahasa penulis zaman Pujangga Baru tentunya berbeda dengan bahasa penulis zaman sekarang. Oleh karena itu, rasanya terlalu dipaksakan ketika dalam cerpen remaja saat ini muncul kalimat yang biasa digunakan dalam karya sastra zaman, terutama penggunaan gaya bahasa Melayu Lama. Terinspirasi oleh cerita yang pernah dibaca tentunya bukan hal yang dilarang dalam berkarya, tetapi ciri khas sendiri seharusnya tetap muncul sebagai identitas yang membedakan seorang penulis dengan penulis yang lainnya.
Catatan kecil ini semoga menjadi pembangkit gairah dalam berkarya. Selamat berkarya adik-adikku, semoga kreativitas senantiasa menjadi milik kalian. Salam!
*Pegawai Kantor Bahasa Provinsi Lampung
Alumni Universitas Negeri Jakarta dan mahasiswi program pascasarjana UI
KAU DAN DIAMMU
Aku tak bisa terlelap di malam yang makin hampa. Sekarang aku tak lagi bersama sesosok gadis yang sangat pendiam ataupun sesosok janda muda yang malang tetapi tetap bersahaja, tulus dan tak pernah mengeluh. Dia sudah benar-benar hilang dari tatapan namun begitu, tidak akan lenyap dari hati dan ingatan. Setiap kata-kata singkat yang dia ucap ataupun selengkung senyuman di bibirnya atau tepatnya diamnya yang penuh selaksa makna.
Kamarmu masih saja wangi, meski kau sudah tiada. Aku ingin kau di sini malam ini. Aku yakin dua hari yang lalu saat kau kutemui di kamar ini, kau sedang bersedih. Aku tak pernah melihat cahaya di matamu hanya kabut tebal menyelimuti beningnya cerminan hatimu itu.
Dua hari yang lalu kau duduk di kursi meja belajarmu. Kau buka jendela di hadapan meja itu. Setangkai mawar putih yang kau letakkan pada guci bening berisi air, kau ciumi berulang-ulang. Ketika kudekati dirimu, titik-titik air dari mata berkabutmu jatuh berlahan. Baru kali ini kulihat kau menangis. Mungkin lebih sering hatimu yang menangis sehingga kepedihanmu tak pernah terhapus.
Bergegas kau menunjukkan senyuman dan wajah yang seolah bahagia ketika kau tahu aku datang. Ternyata kau rindu kekasihmu yang dulu. Seandainya aku bisa menghapus air di mata dan di hatimu pasti aku seperti melihat musim semi tiba. Dan aku bagian dari bunga-bunga kuncup yang ingin mekar saat itu.
Janda muda yang kau kagumi itu adalah satu-satunya kakak perempuanku. Dia tujuh tahun lebih tua dariku. Dia seorang yang sangat pendiam. Tidaklah dia bicara bila tiada perlunya. Lembut dan penuh misteri sikapnya. Dia menyukai kata-kata mutiara dan mengumpulkannya dalam sebuah buku, baik yang tercipta dari pikirannya ataupun didapat dari buku-buku yang dia baca. Kukira itu yang bisa menegarkan hatinya selama ini.
Sebenarnya masih terlalu muda baginya menjadi seorang janda. Sebab itu sedari tadi aku menyebutnya janda muda. Dia meninggal pada usianya yang baru dua puluh tahun. Usia di mana seseorang dapat menentukan langkah terbaiknya dalam menentukan jalan yang dipilih untuk ditempuh. Sayangnya semua itu tidak didapatkan oleh kakakku.
Dia dijodohkan dengan pemuda anak relasi kerja bapakku saat baru beberapa bulan lulus SMA. Aku tahu sesungguhnya kakakku tidak mau tapi dia takut dikatakan melawan orang tua, sehingga dia hanya tersenyum kecil saat bapak menanyakan persetujuannya. Aku geram ketika itu. Mengapa dia tidak menolak saja? Padahal saat itu orang yang dicintainya baru saja mengutarakan dan berjanji setia pada kakakku. Setelah kakak berharap selama dua tahun.
Aku ingat waktu sebelum dia menikah dan masih sekolah. Aku menemukannya tersenyum lepas memandangi foto seorang laki-laki berseragam putih abu-abu. Kutanyai dia dengan tulisanku karena Tuhan menciptakan aku dengan tidak dapat bicara. Ya, aku hanya seorang tuna wicara.
“Apakah dia pacarmu, Kak?” tanyaku lewat tulisan dan dia hanya menjawab tidak. Kutanyakan lagi apakah laki-laki itu mencintai kakak, tapi kakak bilang bahwa dialah yang mencintai laki-laki itu dan laki-laki itu belum membalas cinta kakakku. Pertama kali itulah kakak tersenyum dengan kebahagiaan.
“Kakak bahagia dengan semua ini! tetapi bukankah lelaki itu jahat, karena tidak membalas cinta kakak?” tulisku yang kemudian dibaca olehnya. “Dia tidak jahat, Nes. Di rumah ini. Cuma Anes yang boleh tahu bahwa lelaki di foto ini yang membuat hidup kakak lebih berarti,” ucapnya penuh kebahagiaan. Akupun demikian, turut bahagia bila dia bahagia. Sayangnya, saat ini aku belum mengerti soal cinta, aku masih terlalu kecil.
Aku kembali pada kenyataan bahwa sekarang di kamar ini aku masih sendiri. Mawar putihnya dua hari yang lalu masih belum layu meskipun tidak berseri saat dirinya, pemilik bunga itu masih di sini. Kubaringkan tubuhku di atas tempat tidur kakakku. Kupejamkan mata meskipun pikiranku melayang. Untuk kesekian kalinya pertahananku runtuh, janjiku teringkari karena air mataku jatuh lagi. Maaf kak, aku tak sekuat dirimu yang bisa menyembunyikan air mata. Aku tak ingin dirimu pergi.
Sampai saat ini merasa tak adil pada kakakku. Mengapa dilahirkan oleh orang tua yang tak pernah menyayanginya. Dia memang terlahir lebih sempurna dari aku, tetapi aku lebih beruntung daripada dia. Orang tuaku bahkan tidak memahami sifatnya yang pendiam.
Suatu ketika kakak pernah dimarahi Bapak, karena dia mengajariku bermain bola bekel. Aku saja sudah mengerti saat kakakku hanya tersenyum dan mengedipkan mata ketika aku aku minta diajari.
Setelah bapak keluar aku minta maaf dengan bahasaku sendiri. Kakak masih diam dan sesaat kemudian dia tersenyum. Hatiku tenang jika dia sudah tersenyum, itu berarti dia akan baik-baik saja.
Sekarang pun aku masih tak mengerti mengapa bapak dan ibu menganggap kakak tak pernah sayang padaku. Apa karena kakak tak pernah menunjukkannya? Apa karena kakak tak pernah menyisir rambutku seperti kakak yang lain kepada adiknya? Apakah karena kakak tak pernah mencium keningku atau apalah! Aku tak mengerti, bagiku itu tak masalah. Aku memang tak bisa membuktikan pada orangtuaku bahwa kakak menyayangiku karena memang kakak terlihat seperti tak peduli denganku. Aku percaya kakak sayang padaku. Aku merasakannya dan sangat merasakannya.
Aku merasa kakakku begitu sempurna. Bahkan perempuan mana pun mungkin tak ada yang bisa sepatuh dia. Aku senang dengan prinsip hidupnya. Dia sering membiarkan aku berkreasi dengan hal-hal atau pekerjaan kecil. Dia hanya diam sambil menggeleng bila yang kulakukan itu salah dan tersenyum bila aku benar dan berhasil. Dia tak pernah menyuruh dan memaksaku. Pekerjaan yang dianggapnya berat untukku tak boleh aku kerjakan. Mungkin itulah bentuk rasa sayang yang bisa dia tunjukkan.
Suara petir bergemuruh mengagetkanku. Menyadarkanku dari lamunan panjang. Waktu menunjukkan pukul dua dini hari. Berjuta kemarahan bangkit saat wajah Mas Arul melintas. Kemarahan itu bukan hanya milik Mas Arul, mantan suami almarhumah kakakku, tetapi juga pada bapak. Bapak telah memilih laki-laki yang salah buat kakak.
Sewaktu menjadi istri Mas Arul, kakakku sangat tersiksa. Harta memang bukan jaminan akan kebahagiaan seseorang. Mas Arul sering memukuli kakak, menghina bahkan melecehkannya. Itu semua kuketahui dari tetangga kakak. Meskipun demikian, kakak tetap tabah sampai Mas Arul menceraikan kakak dan menikah lagi.
Sejak itu aku sangat benci melihat wajah Mas Arul. Apalagi melihatnya memperhatikan kakakku dari ujung kaki hingga ujung kepala. Tatapannya seperti menerawang. Aku heran mengapa bapak memilih orang yang tidak memiliki etika sepertinya.
Sebenarnya saat itu aku sangat marah pada bapak. Akan tetapi tidak ada yang dapat kuperbuat. Kakakku cantik, baik, sopan, dan juga lugu. Aku bahkan tidak percaya bapak tega menjodohkan dia dengan laki-laki seperti Mas Arul hanya kerena harta.
Dari dulu sampai sekarang aku yakin cuma aku yang tahu tentang kakak. Aku memang nakal, aku sering membaca buku harian kakakku. Aku jadi tahu saat dia diam karena bingung berfikir atau pun sedang menghadapi masalah.
Kakak juga pernah bercerita bagaimana kisah ceritanya dengan orang yang dicintainya. Mungkin baru terjalin selama satu minggu sampai akhirnya kakak minta putus karena akan dinikahkan.
“ Tetapi dia tidak membenci kakak kan?” tulisku.
“Tidak, dia selalu baik dan menghargai kakak.”
Ahh, malang sekali nasib kakak. Setelah bercerai dengan Mas Arul, bapak masih saja mencarikan jodoh untuk kakak. Ternyata bapak belum puas dengan tindakannya.
Aku baru mulai melihat kebahagiaan kakak kembali kemarin pagi. Dia senang sekali karena kekasih yang dicintainya dulu akan melamar malam ini dan orangtuaku merestui. Senyumnya persis saat dia memandangi foto laki-laki itu dulu.
Tak disangka Mas Arul datang sebelum acara pertunangan dan mengacaukan semua. Mas Arul menuduh kakak mencuri uang tabungannya dan menampar kakak keras-keras di depan bapak. Kakak terlempar dan kepalanya terbentur ke dinding. Acara pertunangan diundur karena kakakku masuk UGD, dan Mas Arul ditangkap polisi. Tidak hanya membuat keributan, juga kerena terbukti korupsi di perusahaan tempat dia bekerja.
Pagi tadi peristiwa itu terjadi, kakakku telah dipanggil Tuhan. Kekasih kakak pun hanya bisa pasrah dan pergi dari kotaku untuk melupakan semua kejadian ini. Aku melihat kekecewaan yang besar dalam dirinya. Kesempatan kedua yang diharapkan ternyata tidak dapat menjadi kenyataan. Sepertinya takdir tak berpihak kepada mereka. Namun begitu, aku yakin akan cinta mereka berdua. Mungkin bukan di dunia ini dan mungkin bukan saat yang tepat untuk mereka berdua. Aku hanya yakin bahwa keputusan Tuhan adalah sebaik-baiknya jalan yang harus kita tempuh.
“Kak, sudah lima tahun aku tanpamu. Hari ini aku ingin menjengukmu. Bunga mawar di depan rumah kita berbunga lebat dan kubawakan untukmu.
Kak, umurku baru delapan belas tapi bapak sudah punya calon suami untukku, ternyata kejadian lima tahun yang lalu tidak membuat bapak puas. Kakak harus tahu, sekarang ibu sudah lebih baik dari pada dulu. Beliau titip salam buatmu.
Oh ya kak, kemarin kekasihmu mengirim surat kepadaku. Dia sudah menikah dan punya anak, anak pertamanya perempuan dan diberi nama sama sepertimu. Kau pasti senang.”
Aku melangkah meninggalkan makam nisan kakak. Langkahku terhenti dan aku membalik badan. Tak sengaja kubaca tanda di nisan itu “IRMANISHA BINTI APRIZAL” Astaga! Itu bukan nama bapak, aku baru sadar. Kakak bukan anak kandung dari orangtua yang selama ini bersamanya. Aku mengerti sekarang, mengapa ia selalu diam jika dimarahi bapak dan aku yakin dia sudah tahu jauh sebelum aku menyadarinya.
“Aku, lalu apakah aku bukan juga anak bapak? Ya Tuhan, maafkan aku yang baru menyadari hal ini. Maafkan aku yang tak bisa berbuat apa-apa untuk kakakku.
Maafkan aku yang tidak mampu membelanya. Pantas saja, bapak dan ibu tidak pernah mengerti kau dan arti diammu. Aku menangis dan terduduk lemas di tepi nisan Kak Nisha.
*Peristianika SMAN 5 Bandarlampung
Salah satu cerpen terbaik pada lomba Penulisan Cerpen Remaja Provinsi Lampung 2007 yang diselenggarakan oleh Kantor Bahasa Provinsi Lampung.
*)Erwin Wibowo
Menulis cerpen, puisi, dan novel bukan sekadar merangkaikan kata-kata menjadi suatu tulisan, tetapi karya fiksi merupakan pemikiran yang di dalamnya terkandung imajinasi dan ide-ide, sehingga tercapailah nilai estetika sebuah karya fiksi.
Cerpen “Sabun Mandi dan Tikus” karya Reki Candra, boleh dibilang sangat menarik. Reki sudah membuat pembaca ingin mengetahui isi cerpen tersebut dan bertanya-tanya “ada apa dengan sabun mandi dan tikus?” Judul yang baik haruslah yang membuat para pembaca tertarik dan ingin tahu tentang cerpen tersebut.
Cerpen ini menceritakan bagaimana sebuah keluarga yang terganggu oleh kehadiran tikus di rumahnya karena sang tikus kerap sekali membuat jengkel Aris dan istrinya, antara lain membuat sabun mandi yang digunakan Aris berbau busuk. Ternyata hal tersebut membuat Aris sangat marah, dipasangkanlah perangkap tikus di setiap sudut rumahnya untuk bisa menangkap tikus tersebut. Usaha Aris untuk menangkap tikus ternyata tidaklah mudah. Hingga pada suatu pagi saat Aris dan istrinya sedang sarapan, seekor tikus jatuh dari plafon ke maja makan, terjadilah “pertarungan” antara Aris dengan tikus. Dengan memakai samurai Aris mencoba membunuh tikus tersebut, akan tetapi karena tikus adalah salah satu hewan yang lincah, secepat itu pula tikus itu lari. Tebasan samurai Aris malah mengenai istrinya dan langsung meninggal. Meninggalnya istri Aris menyulut api pada dirinya, ia pun terus mengejar tikus tersebut. Hingga pada akhirnya Aris terjatuh karena terpeleset oleh kain yang berserakan di lantai dan tertusuk tanduk rusa, Aris pun langsung meninggal. Samurai yang terlepas dari tangan Aris, tidak sengaja mengenai tikus tersebut, sehingga tubuh tikus tersebut menjadi dua bagian.
Ide yang ditawarkan oleh Reki Candra boleh dibilang beda untuk penulis seusianya. Bukan mempersoalkan kisah cinta sepasang muda-mudi, persahabatan antara teman hingga bakti anak terhadap orang tuanya. Persoalan yang diangkat oleh Reki Candra adalah realitas kehidupan masyarakat kelas menengah ke bawah dan lingkungan rumah yang kotor, sehingga mengundang hadirnya binatang-binatang seperti tikus.
Reki menghadirkan tiga tokoh dalam cerpen ini, yaitu Aris, Istri Aris, dan tikus. Tokoh Aris digambarkan sebagai orang yang keras kepala, mudah tersulut amarah, dan ambisius. Penggambaran tokoh Aris oleh Reki dikuatkan dengan kalimat yang bermetafora seperti “Hatinya memanas seperti kayu yang terbakar api”, “Dia mencabut samurai dari tubuh istrinya dengan wajah memerah”.
Cerpenis terkenal biasanya mengusahakan agar tidak menciptakan banyak konflik dalam cerpen tersebut, sehingga fokus cerita tetap terjaga dengan baik. Fokus cerita di sini maksudnya penajaman persoalan yang disuguhkan dalam cerpen. Dalam cerpen ini, Reki mencoba memfokuskan cerita pada konflik antara Aris dengan tikus, sehingga hanya terbentuk satu konflik.
Dalam hal pemilihan kata dan pemakaian bahasa, rupanya Reki harus banyak belajar dan membaca lagi untuk menghasilkan karya yang baik. Setelah saya membaca cerpen ini, saya menemukan beberapa kata yang membingungkan bagi pembaca, sehingga membuat cerita menjadi terkesan tidak logis. Seperti dalam kalimat Rupanya ruang tamu adalah salah satu tempat Aris menaruh perangkap tikus. Perangkap itu diletakkannya di bawah kaki kursi sehingga mengenai perangkap tikus, atau dalam kalimat Memangnya Papa dari ngapain sih, kok sampai bau gitu? pada kata “dari” dalam dialog ini, lebih tepat memakai kata “habis”, karena menyatakan setelah melakukan sesuatu. Pemborosan kata yang kurang tepat juga saya temukan dalam cerpen tersebut, seperti dalam dialog Papa habis dari mandi, Ma!, dialog itu lebih tepat dalam bentuk Papa habis mandi, Ma. Dalam hal pemakaian bahasa, ada beberapa yang saya anggap terlalu mubazir dan berpanjang lebar seperti, Malam harinya Aris memasang perangkap tikus di seluruh pelosok rumah. Di atas plafon, lemari makan, lemari pakaian, bawah ranjang, lemari buku, dekat kursi dan kamar mandi”. Kalimat kedua pada dialog tersebut, hemat saya ditiadakan kerena sudah diterangkan pada kalimat “di seluruh pelosok rumah”.
Antiklimaks dalam cerpen ini terdapat di bagian akhir yang merupakan ending dari cerita ini, tetapi penyampaian ending tersebut terlalu dibesar-besarkan sehingga menimbulkan pertanyaan. Mungkinkah terjadi seperti itu?
Secara keseluruhan cerpen yang disuguhkan oleh Reki menarik untuk dibaca dan dicermati.
Beberapa kecerobohan hanya pada bagian-bagian tertentu saja dan tidak serta merta membuat cerpen ini menjadi gagal. Justru inilah tantangan buat Reki Candra, dengan usia yang terbilang muda sudah cukup berani memaparkan peristiwa keseharian ke dalam wujud cerpen. Kesederhanaan yang cukup mendebarkan. Teruslah berlatih dan berkarya!
*) Staf Pembinaan Kantor Bahasa Provinsi Lampung
Sabun Mandi dan Tikus
Oleh Reki Candra*)
Bau sabun itu tidak wangi. Berkali-kali Aris menciumi sabun itu, tetap saja bau beraroma tidak wangi. Bahkan justru sabun itu berbau busuk. Aris merasa heran, sabun yang harusnya memberikan kesegaran dan keharuman pada tubuh malah justru memberikan aroma tubuh yang berbau busuk. Tetapi, Aris tidak menghiraukan masalah itu, tetap saja Aris mandi menggunakan sabun tersebut, seolah-olah tidak terjadi apa-apa dengan sabun itu.
Setelah mandi Aris duduk di meja makan. Lalu tidak lama kemudian, istri Aris datang dengan membawa makanan.
”Kau memang istri yang baik, Ma!” Istrinya tersenyum laksana bunga mawar yang ingin tumbuh mekar. Tetapi, setelah istri Aris mendekatinya, dia mencium bau tidak sedap dari tubuh Aris.
”Bau Papa yang busuk itu, ya?”
”Enak aja kamu, Ma, ngomongin papa seperti itu!”
”Kalau Papa nggak percaya coba cium sendiri bau badan Papa!”
”Tapi Papa lagi pilek, Ma!”
”Papa coba aja dulu, soalnya baunya sangat pekat!”
Diciumi oleh Aris anggota tubuhnya satu per satu. Dimulai dari tangan, lalu ketiak sampai ke ujung kaki Aris dan ternyata bau busuk itu memang berasal dari tubuh Aris.
”Benar katamu, Ma. Baunya memang berasal dari tubuh Papa!” ujar Aris dengan wajah yang tersipu-sipu karena malu.
”Memangnya Papa dari ngapain sih, kok sampai bau gitu?”
”Papa habis dari mandi, Ma!”
”Kok habis mandi malah bau sih?”
”Papa juga nggak tau, waktu mandi tadi Papa pakai sabun yang aromanya nggak wangi dan baunya agak busuk sih!”
Istri Aris heran mengapa sabun mandi bisa menjadi bau. Istri Aris merenung sesaat, dia teringat tiga hari yang lalu pada saat malam hari dia pergi ke kamar mandi karena ingin mencuci wajahnya lantaran dia tidak bisa tidur. Pada saat ia mengambil sabun, ia melihat sabun itu seperti digigiti oleh tikus dan ada kotoran serta air seperti air seni tikus. Tetapi sabun itu telah diganti oleh istri Aris dengan sabun yang baru.
”Jangan-jangan!”
”Jangan-jangan apa, Ma?”
”Sabun yang Papa pakai jangan-jangan sudah terkena gigitan, kotoran dan air kencingnya tikus!
”Mama jangan bercanda, masak tikus makan sabun!”
”Benar Pa, Mama nggak bercanda, soalnya tiga hari yang lalu Mama melihat dengan mata kepala Mama sendiri!”
”Lalu kenapa nggak Mama ganti sabunnya!”
”Sabunnya sudah Mama ganti baru kok Pa!”
Aris pun menjadi kesal dan wajahnya dalam hitungan detik menjadi merah karena marah. Hatinya memanas seperti kayu yang terbakar api. Istrinya pun berusaha menenangkan Aris, agar emosinya tidak meluap. Karena istrinya tahu kalau Aris marah maka ia akan gelap mata dan tidak memikirkan keadaan di sekelilingnya. Tetapi usahanya itu sia-sia. Tetap saja Aris emosi.
”Awas kau tikus, kalau kau kutemukan maka akan kubunuh kau!” ujar Aris seperti bersumpah”.
Malam harinya Aris memasang perangkap tikus di seluruh pelosok rumah. Di atas plafon, lemari makan, lemari pakaian, bawah ranjang, lemari buku, dekat kursi, dan kamar mandi. Bukan hanya perangkap tikus saja yang dipakai oleh Aris untuk membumihanguskan tikus yang sudah membuat bau badannya menjadi busuk. Tetapi Aris juga menggunakan racun tikus dan kapur barus.
Semalaman Aris tidak tidur karena menunggu tikus itu masuk ke dalam perangkap. Tetapi, ternyata malam itu sial bagi Aris. Tidak satu ekor pun tikus yang keluar dari tempat persembunyiannya. Sementara itu, istri Aris ditinggalkannya sendiri seperti bunga yang ditinggalkan oleh kumbang pergi mencari kesegaran udara di pagi hari.
Aris pun semakin penasaran ingin membunuh tikus itu. Hati Aris pun bergejolak tidak karuan. Rasa marah, kesal, penasaran, dan dendam bergabung menjadi satu. Karena itu, Aris tidak pernah putus asa, dia terus berusaha membunuh tikus itu.
Malam kedua, Aris pun memperbanyak perangkap tikusnya dan memperbanyak racun serta kapur barus. Sehingga, setiap pelosok-pelosok rumah tidak satu pun yang terlewatkan oleh Aris.
”Kalau aku dapat, akan kucincang tubuhmu seperti perkedel!” Ujar Aris di dalam hati.
Aris pun menunggu tikus masuk ke dalam perangkap sambil menonton televisi. Walaupun menyaksikan acara televisi tetapi Aris tetap berkonsentrasi terhadap perangkap-perangkapnya. Tak… tiba-tiba terdengar suara perangkap tikus telah menerkam mangsanya. Dengan cepat Aris bangkit dari tempat duduknya dan langsung menuju ke sumber suara, yaitu di kamar mandi dekat wadah sabun mandi. Setelah dilihat ternyata yang diterkam oleh perangkap tikus itu adalah seekor cicak. Kekecewaan muncul di wajah Aris. Melihat hal ini istri Aris pun berusaha merayu Aris agar tenang.
”Pa, sudahlah nggak usah terlalu ambisius untuk membunuh tikus!”
”Tidak Ma, Papa nggak akan berhenti sebelum Papa membunuhnya!”
”Tapi Pa, ini hanya buat Papa capek dan buang waktu!”
”Sudahlah Ma kau diam saja, Papa tetap akan membunuhnya!”
Istri Aris pun tidak dapat memadamkan gejolak jiwa yang memanas itu. Dia hanya bisa melihat dan membantu jika sudah diperintahkan oleh suaminya.
Malam itu Aris pun tertidur di depan televisi yang masih menyala, di tengah kegelapan malam membuat tidur Aris pun menjadi lelap. Dalam tidurnya yang lelap Aris bermimpi. Ketika dia sedang mandi pada malam hari, terdengar suara tikus. Dia pun melihat ke arah tempat tikus itu bersuara, ketika dilihatnya segerombolan tikus sedang mengerumuni tempat sabun—sabun mandi yang disimpan oleh istrinya Aris. Dalam hitungan detik, tikus-tikus itu menyerang kaki Aris, Aris pun berusaha melawan. Tetapi ternyata Aris tidak mampu melawan serangan-serangan tikus itu karena jumlah tikus yang sangat banyak. Serangan itu membuat kaki Aris menjadi terluka. Aris pun berlari sambil berteriak meminta pertolongan.
Rupanya ruang tamu adalah salah satu tempat Aris menaruh perangkap tikus. Perangkap itu diletakkannya di bawah kaki kursi sehingga mengenai perangkap tikus. Aris pun terbangun dari tidurnya dan seketika itu dia merasa kakinya sakit. Ketika dilihat ternyata kakinya berlumuran darah terkena perangkap tikus.
”Berengsek kau tikus, gara-gara kau kakiku terkena perangkap!” ujar Aris dengan emosi.
Mendengar Aris berbicara sendiri istrinya lalu pergi ke arah Aris.
”Pa kakimu kenapa?”
”Ini gara-gara tikus sialan!”
”Sudahlah Pa, jangan Papa lanjutin lagi usaha menangkap tikus ini ya?”
”Tidak Ma aku akan tetap membunuhnya!”
”Papa ini keras kepala, lihat gara-gara usaha Papa itu, kaki Papa jadi terluka. Tapi, sudahlah kalau Papa nggak mau dengerin omongan Mama!” Aris pun terdiam mendengar perkataan istrinya itu. Aris pun lalu berfikir. ”Aku akan menangkap tikus itu sekali lagi, kalau tidak berhasil maka akan kuhentikan usahaku ini!”
Di malam yang ketiga Aris pun melengkapi seluruh peralatan untuk menangkap tikus. Di malam yang ketiga ini dia menggunakan strategi untuk menangkap tikus-tikus di rumahnya. Di setiap sudut-sudut rumah ditaruhnya makanan-makanan kesukaan tikus. Seperti, ikan asin, kelapa parut, dan tidak lupa sabun mandi pun ikut digunakan oleh Aris untuk menjalankan strateginya.
Malam itu Aris berkeliling di rumah menunggu tikus masuk ke dalam perangkap. Seperti polisi yang sedang berpatroli mencari penjahat. Waktu sudah menunjukkan jam 12 malam, tetapi tidak ada satu ekor tikus pun yang menampakkan ekornya. Aris pun hampir putus asa, tetapi dia tetap berkeliling menunggu tikus-tikus itu keluar dari tempat persembunyiannya.
Melihat suaminya memiliki semangat yang gigih, istri Aris pun merasa kasihan pada suaminya.
”Percuma saja aku merasa kasihan, dia saja tidak mau mendengar omonganku!” ujar istri Aris di dalam hati.
Aris pun merasa lelah dan mengantuk karena waktu sudah menunjukkan jam tiga pagi. Akhirnya Aris memutuskan untuk menghentikan usahanya menangkap tikus-tikus yang sudah membuat tubuh Aris menjadi beraroma tidak sedap dan yang sudah melukainya. Dia pun akhirnya tertidur di ruang tamunya yang cukup luas.
Pagi harinya, istri Aris membangunkan Aris dari tidurnya yang lelap itu. Aris pun terbangun lalu mereka mengobrol.
”Pa, bagaimana tikusnya sudah dapat belum?”
”Boro-boro dapat Ma, melihat batang hidungnya aja nggak!”
”Kalau gitu nggak usah Papa lanjutin aja ya nangkap tikusnya?”
”Iya Ma, Papa berhenti, Papa juga sudah putus asa!”
”Nah gitu Pa,” ujar istri Aris dengan senang.
Dengan kekecewaan Aris lalu bangkit dari tempat duduknya dan pergi ke kamar mandi. Istrinya pun lalu menyiapkan sarapan untuk mereka berdua.
”Ma, sabun mandinya sudah Mama ganti belum dengan yang baru?”, ujar Aris dari kamar mandi dengan teriak.
”Sudah Mama ganti, Pa!” jawab istri Aris dengan mesra.
Setelah mandi, Aris pun langsung ke meja makan, menyantap sarapan yang telah disediakan oleh istrinya.
”Sarapan yang menggoda selera!” kata Aris berbicara sendiri. Istrinya pun lalu duduk di meja makan. Mereka berdua seperti pasangan yang baru menjalin kasih laksana burung dara yang sedang berdua.
Ketika sedang menikmati makanan, tidak disangka-sangka di luar perkiraan Aris dan istrinya. Seekor tikus jatuh dari atas plafon ke atas meja makan rupanya plafon yang terbuat dari kayu ini sudah rapuh. Karena dimakan oleh rayap sehingga saat tikus melewati plafon ini amblas terkena berat badan tikus.
Aris dan istrinya terkejut seketika melihat hal tersebut. Aris lalu mengambil sebuah pedang samurai di dinding samping tangan Aris.
”Akhirnya kau muncul juga tikus brengsek, sudah lama aku menunggu, sekarang kau akan kubunuh” ujar Aris dengan menggebu-gebu.
Ssseep…suara tebasan samurai ditebaskan oleh Aris dengan cepat. Namun, ternyata tikus itu lincah dia lalu berlari ke kursi. Sehingga tebasan itu tidak mengenainya. Tetapi ketajaman samurai itu luar biasa. Tebasan yang dilakukan oleh Aris mengakibatkan samurainya tertancap dalam di meja makan.
”Auu…” teriak istri Aris
Melihat hal itu, istri Aris terkejut menyaksikan hal tersebut. Dia pun lalu berlari ke dapur mengambil semprotan racun tikus. Sementara itu, Aris tetap berusaha membunuh tikus itu dengan samurainya. Ditebaskannya kembali samurainya ke kursi di tempat tikus itu berada. Tikus itu memang benar-benar ligat, dia kembali berlari kesana kemari. Sehingga terjadi kejar-kejaran antara Aris dan tikus.
Hal ini membuat rumah menjadi berantakan tidak karuan. Seluruh hiasan-hiasan dinding terjatuh, seperti, foto-foto, poster, guci dinding, dan hiasan dinding tanduk rusa yang tajam pun ikut terjatuh. Aris pun kelelahan berlari-lari mengejar tikus itu. Tidak disangka ternyata tikus itu pun kelelahan, dia berdiri di ruang tamu.
Melihat hal ini Aris pun mengambil kesempatan. Dia membidik tikus itu dengan samurainya. Aris bermaksud melemparkan samurainya ke arah tikus, setelah bidikan Aris tepat dia lalu melemparkan samurainya. Di saat bersamaan pula istri Aris berlari ke arah tikus untuk menyemprotkan racun tikus. Samurai Aris mengenai punggung istrinya hingga tembus ke dada.
”Tidak….” teriak Aris dengan kuat.
Dia pun lalu berlari ke arah istrinya. Namun nyawa istrinya tidak dapat ditolong lagi. Perasaan sedih dan menyesal menyelimuti Aris. Aris bertambah marah pada tikus itu, Aris pun menjadi gelap mata. Dia mencabut samurai dari tubuh istrinya dengan wajah memerah.
”Brengsek kau tikus, gara-gara kau istriku mati!” ujar Aris dengan wajah yang penuh emosi.
Aris pun berlari dengan cepat ke arah tikus. Ketika berlari Aris terpeleset karena kain-kain yang licin tercecer di lantai, akibat kejar-kejaran dengan tikus tadi. Tubuh Aris pun terjatuh mengenai hiasan dinding tanduk rusa yang tajam. Sehingga membuat tubuh Aris tertembus tanduk rusa dan seketika itu nyawa Aris pun melayang. Di saat bersamaan ketika badan Aris terjatuh, samurai pun ikut terjatuh dan samurai itu pun mengenai badan tikus tersebut. Sehingga tubuh tikus terbelah menjadi dua bagian. (*)
*) Siswa SMA 1 Menggala
Isi Hati Seorang Santri
Oleh: Erwin Wibowo
Puisi ”Hampa” karya Kumil Laila, menggambarkan tentang bagaimana menjalani kesendirian. Hampa, yang seakan-akan membuat hidup seakan tidak berarti lagi. Dalam puisi ”Hampa” Laila menggambarkan bagaimana suasana hati yang sedang gundah. Kepekatan malam hentikan langkahku / aku tidak bisa melihat / meski hanya sesaat / aku benar terjerat dalam kegelapan. Begitulah Laila melukiskan suasana yang sedang melanda hidupnya, Dalam puisi ini, seakan-akan merupakan cerminan diri dari Laila, yang sedang mencari jati diri, yang sedang menentukan jalan hidup yang nanti akan ditempuhnya.
sang rembulan tak menampakan sinarnya / bintang-bintangpun tak bermunculan / di angkasa / langkahku hampa tak tentu arah. Dalam hal pemilihan diksi Laila sepertinya sangat memperhatikan kekuatan puisinya. Pada dua baris puisi tersebut bagaimana kita lihat kelihaian laila untuk memilih kata, dan merangkainya menjadi sebuah baris puisi yang baik. Dalam baris ini terlihat jelas suasana kegelapan, suasana perenungan yang sedang dijalani aku lirik. Pemakaian metafora yang baik juga diperlihatkan laila dalam puisi ”Hampa”, seperti angkasa yang dipilih oleh Laila untuk menggambarkan dunia.
Puisi “Rintihan Hati” lagi-lagi Laila mengankat tema yang hampir sama dengan puisi “Hampa” sebuah pengharapan untuk hidup yang lebih baik. Pada bait pertama dan kedua terlihat betapa susahnya cobaan yang sedang menyelimuti aku lirik Masih adakah waktu untukku, berjuang / agar aku bisa meraih kebahagiaan. Masih adakan kekuatan / yang membuatku bisa bertahan. Pada bait ini pula, terlihat keputusasaan, dalam diri aku lirik yang tergambar pada kalimat masih adakah waktu untukku dan masih adakah kekuatan, suatu pertanyaan yang memperlihatkan ketidakmampuan aku lirik dalam menerima cobaan yang ada, seakan-akan sudah habis waktu yang ada dan tidak ada kekuatan yang dipunyai aku lrirk untuk menghadapi cobaan itu.
Ada kekurang cermatan Laila dalam menulis kata sehingga menimbulkan tanya. Kata kau pada bait keempat, baris pertama. Tertuju kepada siapa kau dalam bait tersebut? Jika tertuju kepada Tuhan, hendaknya ditulis seperti pada bait ketiga Kau.
Dalam puisi ”Ibu” Laila, memberi gambaran yang jelas tentang kisah seorang Ibu yang menjadi dambaan bagi setiap anak. Kasih ibu sepanjang masa, kasih anak sepanjang galah pepetah inilah yang mungkin ingin disampaikan oleh Laila. Pada bait pertama dan kedua Laila mencoba melukiskan bagaimana seorang ibu yang menjadi dambaannya. Sosokmu begitu indah dalam hidupku / hadirmu memberikan semangat di setiap hariku../ kasih sayangmu tak kan pernah terlupakan. Sesosok Ibu yang memberikan seluruh hidupnya untuk anak-anaknya, ibu yang selalu memberikan semangat untuk anak-anaknya dalam mengarungi hidup, seorang ibu yang mencurahkan seluruh kasih sayangnya kepada anaknya.
Pada bait ketiga dan keempat tergambar bagaimana terkadang seorang anak yang secara tidak sengaja melukai hati ibu melalui prilaku maupun ucapannya, hal seperti itu terkadang membuat hati ibu terluka.
Pada bait kedua dalam puisi ini, ada yang menarik perhatian saya, sosokmu sungguh jelas terngiang dalam ingatan, kata terngiang dalam baris ini, menurut saya kurang tepat pemakaiannya, terngiang berasal dari kata ngiang yang berarti suara denging, jadi terngiang berarti terdengar berdering.
Membaca puisi ”Dalam Sujudku”, kita disuguhkan dengan untaian-untaian doa yang dipanjatkan aku lirik kepada Tuhan YME. Sebuah proses berdoa, memohon pengampunan dan petunjuk dari penguasa seluruh jagad raya ini. Dalam bait terakhir terlihat bagaimana aku lirik meminta kepada Tuhan YME, meminta pengampunan dosa, meminta petunjuk atas hidupnya.
Puisi yang mengambil tema islami ini bisa dibilang sangat sederhana. Terlihat dari pemakaian kata yang lazim dipakai oleh orang yang sedang berdoa kepada Tuhan ya Allah, ampunilah dosaku, kesalahanku, petunjuk-Mu, hidayah-Mu,dan ridha-Mu. Akan tetapi, ada hal yang menarik dalam puisi ini yaitu pemakaian judul dan metafora sujudku, untuk menghasilkan bunyi yang liris dan suasana yang sakral. Pemilihan kata puitis, sehingga menghasilkan bunyi yang merdu terlihat dalam bait pertama seperti butiran-butiran air mata.
Pemendekan kata juga terlihat pada beberapa puisi-puisi Laila umunya untuk kelancaran ucapan dan mendapatkan irama yang menyebabkan liris. Dalam puisi “Hampa” tuk beri harapan/ tuk tunjukan jalan yang terang, kata tuk dalam puisi ini adalah pemendekan dari kata untuk. Dalam puisi ”Ibu” penuhi inginmu, kata inginmu dalam puisi ini adalah pemendekan kata dari kata keinginanmu.
Dalam menulis puisi sepertinya Laila masih terpaku pada konsep puisi yang berima a-b-a-b seperti terlihat dalam puisi ”Hampa”, meski hati berkeyakinan / bahwa esok mentarikan datang / tuk berikan harapan / tuk tunjukan jalan yang terang.
Secara keseluruhan puisi-puisi Kumil Laila berhasil menggambarkan isi hatinya. Sebagai penulis muda yang masih panjang nafas kreatifitasnya, Laila harus lebih banyak berlatih menulis, dan membaca karya sastra sehingga Laila akan mendapatkan pengalaman dan mendapat pelajaran. Teruslah berkarya. Salam budaya.
*) Staf Pembinaan, Kantor Bahasa provinsi Lampung & Alumni Universitas Nasional Jakarta
PUISI-PUISI KUMIL LAILA *)
Hampa
kepekatan malam hentikan langkahku
aku tak bisa melihat
meski hanya sesaat
aku benar terjerat dalam kegelapan
sang rembulan tak menampakkan sinarnya
bintang-bintang pun tak bermunculan
di angkasa........ : metafora untuk menyebut dunia
langkahku hampa tak tentu arahnya
meski hati berkeyakinan
bahwa esok mentari kan datang
tuk berikan harapan
tuk tunjukkan jalan yang terang
namun........
airmata tak dapat ditahan
mungkin, karna aku terlalu pesimis
akan adanya keajaiban
Dalam Sujudku
tak terasa
butiran-butiran air mata
jatuh membasahi pipi
ketika kuingat
banyaknya dosa dan kesalahan
yang telah ku perbuat
dalam sujudku
untaian doa terucap dari bibirku
ya Allah
ampunilah dosaku. Kesalahanku
ampunilah aku, ketika lupa
mensyukuri nikmat yang sudah
Kau berikan kepadaku
berilah aku petunjuk-Mu. Hidayah-Mu
karena yang kuinginkan dalam hidupku
hanyalah ridha-Mu
Rintihan Hati
masih adakah waktu yang panjang untukku, berjuang :
agar aku bisa meraih kebahagiaan
masih adakah kekuatan
yang membuatku bisa bertahan
dalam menghadapi cobaan
Tuhanku…………
kapankah semua kan berlalu
segala cobaan yang Kau beri
untuk mengujiku
akankah kau berikan kepadaku
kesabaran sepenuh hatiku
agar aku bisa jalani hidupku
yang penuh liku-liku
Ibu
Ibu….
sosokmu begitu indah dalam hidupku
hadirmu berikan semangat di setiap hariku
kasih sayangmu selalu membuatku selalu ingat
denganmu
Ibu……
kasih sayangmu tak kan pernah terlupakan
sosokmu sungguh jelas terngiang dalam ingatan
nasehatmu tak kan pernah kulalaikan
Ibu…….
maafkan aku
bila dalam khilafku
sikap dan ucapanku menyakitkan hatimu
maafkan aku
karena aku belum bisa, penuhi inginmu
karena aku belum bisa menjadi yang terbaik untukmu……
*) Santri kelas XII IPA Madrasah Aliyah YPPTQMH
(Yayasan Pondok Pesantren Tahfidzul Quran Mathlaul Huda) Ambarawa Tanggamus
Alamat : MA YPPTQMH
Jl. Sapuhanda No. 07 Arjosari
Kecamatan Ambarawa Kabupaten Tanggamus
Kode Pos : 35376
Graha, Pondok, 'Regency'....
Yulfi Zawarnis *)
Para pengembang dan pengusaha pusat perbelanjaan dan perumahan beralasan menggunakan nama-nama berbahasa asing untuk meningkatkan citra sehingga terkesan mewah dan metropolis. Kalau saja nama-nama itu diubah misalnya menjadi jalur bus Transjakarta, pusat perdagangan internasional, Simpang Cibubur, Depok Indah atau Wisma Depok, Pusat Perdagangan dan Hiburan Depok, Rumah Huni Bogor Nirwana, dan Pusat Perdagangan Bogor.
Tentunya nama-nama seperti Citra Garden juga bisa diubah menjadi Taman Citra Indah. Pun demikian Simpur Centre diubah menjadi Pusat Perdagangan Simpur. Sebetulnya beberapa tahun yang lalu para wakil rakyat pernah mengusulkan untuk mengganti nama-nama yang bernuansa asing menjadi lebih Indonesia. Untuk itu, beberapa pusat perbelanjaan dan gedung bertingkat pernah diubah namanya, misalnya Pondok Indah Mall diganti menjadi Mal Pondok Indah. Entah mengapa peraturan itu hanya diterapkan sesaat dan sekarang kita kembali melihat menjamurnya penggunaan nama-nama yang berbahasa asing.
Alih-alih berkurang, gejala ini bahkan menjalar hingga ke kota-kota kecil di Indonesia, semisal Lampung. Ada apa dengan semua ini? Apakah alasan untuk keperluan menarik konsumen yang berkelas sosial tinggi dapat diterima? Ataukah mungkin hanya untuk gagah-gagahan. Rasanya tidak masuk akal karena tempat-tempat yang menggunakan bahasa Indonesia pun dapat menjadi tempat yang berkelas jika memang tujuan utama pembangunannya adalah untuk orang-orang dari kelas sosial yang lebih tinggi.
Beberapa perumahan mewah dan pusat perbelanjaan tetap dengan citra diri yang baik walaupun nama yang digunakan berbahasa Indonesia. Penggunaan nama pondok, wisma, graha, pusat grosir, pusat perdagangan, atau pusat perbelanjaan rasanya juga memiliki nilai rasa yang baik sehingga opini masyarakat pun akan tetap baik bila mendengar nama-nama ini.
Belum lagi selesai masalah membanjirnya penggunaan nama-nama yang berbahasa asing, nama-nama yang berbahasa Indonesia muncul dengan tetap mempertahankan struktur bahasa asing, terutama Inggris. Contoh yang paling terkini adalah pembangunan banjir kanal timur dan banjir kanal barat. Jika pembuat istilah ini mau berpikir lebih logis tentunya yang muncul bukan banjir kanal timur, melainkan kanal banjir timur. Bukankah dalam bahasa Indonesia kata yang kedua menjelaskan kata sebelumnya?
Oleh Sutan Takdir Alisjahbana gejala ini dirangkum sebagai hukum D-M (diterangkan-menerangkan). Jadi bila ada kata majemuk lorong waktu, waktu berfungsi untuk menerangkan lorong. Semua orang pasti setuju jika lorong waktu diubah menjadi waktu lorong akan terdengar aneh dan tidak sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia.
Jika alasan ini dapat diterima, kita akan serempak dapat mengatakan banjir kanal timur merupakan susunan kata majemuk yang tidak tepat. Bukankah kanal berarti saluran sehingga jika kita menggantinya menjadi banjir saluran timur baru terasa kalau susunan kata majemuk ini tidak tepat. Pelestarian bahasa Indonesia sebagai identitas kita tentunya menjadi tanggung jawab setiap orang sehingga kita akan berpikir dahulu sebelum berbicara bukan berbicara dahulu baru berpikir. n
*) PNS Kantor Bahasa Provinsi Lampung
Sumber: Laras Bahasa: Lampung Post,Rabu, 10 September 2008
Bahasa Indonesia Miskin?
Yulfi Zawarnis
Perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan pun turut memengaruhi khazanah kosakata bahasa Indonesia. Kita sering mendengar kata teknologi, berkah, madani, sehat, komputer, dan masih banyak lagi yang lainnya.
Kita tentunya menyadari kata-kata itu berasal dari berbagai bahasa yang ada di dunia. Kata "teknologi", misalnya, merupakan kata serapan dari bahasa Inggris technology yang berarti metode ilmiah untuk mencapai tujuan praktis atau bisa juga berarti keseluruhan sarana untuk menyediakan barang-barang yang diperlukan bagi kelangsungan dan kenyamanan hidup manusia’.
Kata madani berasal dari bahasa Arab dan berhubungan dengan Kota Madinah. Kini kata madani digunakan sebagai padanan kata bahasa Inggris civil society. "Masyarakat madani" diartikan sebagai masyarakat yang memiliki peradaban yang tinggi, santun, menjunjung tinggi norma dan hukum yang berlaku yang dilandasi penguasaan iman, ilmu pengetahun, dan teknologi.
Penyerapan kata-kata dari bahasa asing maupun bahasa daerah ke dalam bahasa Indonesia tentunya boleh dilakukan selama sesuai dengan aturan dan kaidah yang ada. Berdasar pada taraf integrasinya, unsur pinjaman dalam bahasa Indonesia dapat dibagi atas dua golongan besar.
Pertama, unsur pinjaman yang belum sepenuhnya terserap ke dalam bahasa Indonesia, misalnya reshuffle. Unsur ini dipakai dalam konteks bahasa Indonesia, tetapi pengucapannya masih mengikuti cara asing. Kedua, unsur pinjaman yang pengucapan dan penulisannya disesuaikan dengan kaidah bahasa Indonesia.
Dalam hal ini diusahakan agar ejaannya hanya diubah seperlunya sehingga bentuk Indonesianya masih dapat dibandingkan dengan bentuk asalnya, misalnya structure menjadi struktur.
Sesuai dengan pedoman Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan, penyerapan istilah asing ke bahasa Indonesia boleh dilakukan jika tidak ditemukan padanannya dalam bahasa Indonesia. Kata laundry, misalnya, tidak perlu diserap karena bisa dipadankan dengan kata binatu. Kata mouse bisa dipadankan dengan tetikus, kata download bisa dipadankan dengan unduh, dan kata workshop bisa dipadankan dengan sanggar kerja.
Bahasa Indonesia sangat kaya. Banyak orang yang terkaget-kaget ketika membuka KBBI dan menemukan kosakata yang tidak lazim mereka dengar. Contoh sederhana adalah aktivitas tangan. Selama ini kita mungkin hanya mengenal beberapa kosakata yang melibatkan aktivitas tangan, misalnya mencolek, memukul, menjitak.
Ternyata khazanah kosakata bahasa Indonesia mengenal banyak sekali aktivitas tangan. Siapa yang kenal istilah arih, bongmeh, dan ceku? Ya, istilah-istilah itu juga merupakan istilah yang digunakan untuk menjelaskan berbagai macam gerak tangan. Bahkan, menurut Dr. Felicia N. Utorodewo ada 238 kata dalam bahasa Indonesia yang menunjukkan "tangan bergiat" atau berbagai macam gerak tangan.
Oleh sebab itu, sangat naif rasanya ketika kita berdalih bahwa bahasa Indonesia miskin kosakata dan memilih mencampuradukkan penggunaan bahasa Indonesia dengan bahasa asing saat berkomunikasi dengan kerabat dan relasi. Ironisnya, tindakan mencampur aduk bahasa ini menjadi kebanggan tersendiri di kalangan tertentu. Lalu, masihkah kita mencintai dan bangga berbahasa Indonesia?
Sumber: Laras Bahasa: Lampung Post,Rabu,6 Agustus 2008
Realitas Cinta Remaja
Erwin Wibowo
Pemerhati Sastra, Alumni Universitas Nasional Jakarta,
Staf Kantor Bahasa Provinsi Lampung
Puisi ”Malam Kerinduan” karya Ayu Fitrianingsih, saya mendapati perasaan rindu yang besar kepada seseorang yang telah meninggalkannya. Ayu mengajak kita ke dalam realitas ketika seseorang dilanda perasaan rindu yang begitu besar. Pada puisi ini, terlihat bagaimana aku lirik sedang dilanda rindu terhadap kekasihnya, dengan menggunakan media alam seperti Bintang, Bulan, dan Angin, aku lirik mencoba membagi kerinduannya itu. Pemilihan kata yang sederhana namun mempunyai makna yang dalam seperti merindukan, menyinari, salam rinduku, mendambakannya, dan mimpi yang indah, membuat puisi ini sangat romantis.
“Cinta Yang Hampa” puisi yang dituliskan oleh M. Asep Maulidan, mencoba menceritakan bagaimana perasaan cinta yang tak tersampaikan. Patah hati karena wanita pujaanya telah berlabuh ke orang lain. Begitu besarnya keinginannya untu memiliki wanita pujaan akhirnya kandas juga, Sekian lama kumenanti, Kehadiranmu dihati ini, Namun harapan ku ini, Sia-sia belaka. Pada bait ketiga, Aku berharap kau jadi milikku, Namun kau telah dimiliki orang lain, Andai aku tau akan begini jadinya, Mengapa tak ku katakan dulu, kesempatan memang tak datang untuk kedua kalinya, dalam puisi ini terlihat aku lirik ternyata menyianyiakan kesempatan itu. Semua yang tersisa hanya sebatas kenangan, harapan yang tak terwujud untuk mendapatkan kekasih pujaan hati Cinta dan harapan ku selama ini / Jadi sia-sia dan hampa, Kepiluanku pun membuat putus asa. Dalam puisi ini, Asep berusaha untuk menyarankan kepada kita agar jangan terlalu larut dalam kesedihan dan keterpurukan yang lama, dan harus berbesar hati untuk menerima ”kekalahan” adalah suatu sikap yang terpuji.
Puis yang ditulis oleh Asep sepertinya sangat sederhana, dengan menggunakan bahasa yang tidak terlalu bertele-tele, sehingga membuat pembaca tahu maksud yang akan disampaikan oleh Asep.
Aldo Kurniawan, dengan puisinya yang berjudul ”Perjalanan Cinta” mencoba berbagi pengalamannya tentang bangkitnya seseorang dari keterpurukan yang dalam disebabkan oleh cinta, hal ini terlihat pada bait ombak menghapus pedih, Setapak demi Setapak, dan Berjalan demi indahnya. Keyakinan yang besar bahwa semua yang dijalani Aldo akan berjalan dengan indah, ditunjukan dalam lirik berikut Langkah raguku / setapak demi setapak / berjalan demi indahnya / menjemputku ditepian. Pemilihan diksi yang bagus, terlihat dengan penggambaran dengan menggunakan metafora seperti ombak yang menggapus pedihnya, dalam puisi ini ”ombak” dapat dimaknai suatu pencerahan, dan ”dawai” yang mengalun dengan merdu, menjanjikan suatu cinta yang baru. Akan tetapi, pada bait terakhir keputusasaan telah menghampiri Aldo, setelah ia lelah dengan semua yang telah ia perbuat dan jalani untuk mencari cinta yang baru dalam dirinya Lelah terasa aku berjalan / Mungkin saatnya / Aku berlari menyusuri / Manisnya cinta yang lama. Rupanya pencariannya terhadap cinta yang baru, tidak seperti yang diharapkannya.
“Keajaiban Cinta” puisi yang ditulis oleh Ardila, mencoba menjelaskan tentang bagaimana keajaiban cinta itu adanya, keajaiban cinta yang hanya bisa dirasakan oleh dua orang yang saling mencintai dan menyayangi. Mungkin kamu mampu membawa cintaku / Cintaku yang tertanam dalam / Hatimu yang akan tumbuh / Menjadi kasih sayang, pada bait ini Ardila mencoba mengetengahkan pengharapan yang besar terhadap pendamping hidupnya nanti, pengharapan agar bisa mengarungi hidup berdua selamanya, dan hal itu pula dikuatkan dengan pemilihan kata ”mungkin” pada pembuka puisi ini. Kata ”mungkin” dapat dimaknai dengan hal yang diinginkan oleh ardila tercapai atau sebaliknya.
Pada bait kedua, saya mendapati sesuatu yang menjadi pertanyaan besar Bila aku mati membawa cintaku / Bila kamu membawa cintaku / Itulah sesungguhnya arti / Sebuah cinta yang kekal. Apa benar bentuk cinta yang kekal adalah seperti yang ditawarkan ardila dalam puisinya?
Puisi-puisi yang ditulis oleh teman-teman SMA 11 Bandarlampung ini sangat menarik, masing-masing mempunyai cara untuk menguangkan perasaan mereka terhadap cinta. Ide-ide mereka sangat lancar dalam menuangkan ”perasaan hati” masing-masing sehingga pesan dalam puisi mereka tersampaikan dengan baik. Dalam hal pemilihan diksi, sepertinya teman-teman harus lebih banyak membaca karya sastra, agar puisi teman-teman nantinya mempunyai karakter tersendiri. Terus berkarya. Salam Budaya.
Malam Kerinduan
Bintang ...
Dengarlah suara hatiku
Yang merindukan dia
Bulan
Berilah cahaya terangmu
Untuk menyinari malamnya
Angin malam
Bawalah salam rinduku padanya
Katakanlah aku merindukannya
Katakanlah aku mendambakannya
Wahai malam
Iringilah ia hingga terlelap
Berilah mimpi yang indah
Untuknya
Dan lelapkanlah aku
Agar aku bisa melihatnya
Dalam setiap mimpi indahku
Karya: Ayu Fitrianingsih
Kelas: X2
Perjalanan Cinta
Kuberjalan ditepi pantai
Terhembus ombak menghapus pedih
Mengalun dawai menggores hati
Menjanjikan aku dibunga cinta
Langkah raguku
Setapak demi setapak
Berjalan demi indahnya
Menjemputku ditepian
Perih terasa kujalani
Di bebatuan tajam dan curam
Hingga ku terhempas di duri
Yang siap menghadang
Lelah terasa aku berjalan
Mungkin saatnya
Aku berlari menyusuri
Manisnya cinta yang lama
Karya: M. Aldo Kurniawan
Kelas: X2
Cinta Yang Hampa
Sekian lama ku mencari
Cinta dan kasih sayangmu
Telah sekian lama sayang ...
Namamu aku pahat
Dihati ku ini
Sekian lama kumenanti
Kehadiranmu dihati ini
Namun harapan ku ini
Sia-sia belaka
Aku berharap kau jadi milikku
Namun kau telah dimiliki orang lain
Andai aku tau akan begini jadinya
Mengapa takku katakan dulu
Cinta dan harapan ku selama ini
Jadi sia-sia dan hampa
Kepiluanku pun membuat putus asa
Sayang ...
Kini telah kurelakan keputusanmu
Semoga kau bahagia bersamanya
Mungkin hanya itu satu harapanku untukmu
Karya: M. Asep Maulidan
Keajaiban Cinta
Mungkin kamu mampu membawa cintaku
Cintaku yang tertanam dalam
Hatimu yang akan tumbuh
Menjadi kasih sayang
Bila aku mati membawa cintaku
Bila kamu membawa cintaku
Itulah sesungguhnya arti
Sebuah cinta yang kekal
Isi dunia ini mengawalkan
Dari cinta, kasih yang tulus
Mengabadikan cinta, cinta
Yang abadi tidak akan hilang
Keajaiban cinta membawa
Kita ke surga, untuk
Selamanya kekayaan cinta
Akan membawa kebahagiaan
Karya: Ardila
Kelas: X2
Pesan Dalam Puisi
Yulfi Zawarnis, pemerhati sastra
Setiap penikmat karya sastra, khususnya puisi, memiliki cara tersendiri dalam mengapresiasikan dan menafsirkan karya yang dibacanya. Saini K.M. menuliskan bahwa seorang penyair mendekati objek atau sumber rangsangannya dengan seluruh pribadinya, yaitu seluruh daya, sifat, pikiran, perasaan dan khayalannya. Hal ini diungkapkan dengan kata yag bersifat konotatif. Artinya kata-kata dipilih dan diletakkan demikian rupa dalam suatu karya sehingga tidak saja pengertiannya yang tampil, tetapi juga perasaan-perasaan, asosiasi-asosiasi khayal yang ada dalam kata-kata itu. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika puisi yang sama dimaknai berbeda oleh penikmat yang berbeda.
Membaca puisi-puisi Akbar, siswa Perintis 2 Bandarlampung, nuansa bahasa yang konotatif ini sangat terasa. Hal ini membuat saya merasakan adanya absurditas yang kental ketika membaca puisi. Pada puisi ”Menanam” misalnya, Ada/Hancur yang tidak pernah tidur. Berhenti pada baris kedua ini masih sulit menemukan pesan yang ingin disampaikan penyair. Eksistensi, mungkin itulah maksudnya. Akan tetapi, absurditasnya mulai mencair memasuki bait berikutnya. Bagaimana kami dapat membunuh/Sementara kami lupa cara untuk membenci. Pada bait ini saya melihat Akbar memunculkan sisi kemanusiaan yang sangat agung. Manusia yang seolah tanpa sisi buruk, jangankan untuk membunuh, untuk membenci saja mereka tak punya kuasa. Dalam puisi ini, saya melihat religiusitas yang syahdu yang disajikan oleh penyair. Alangkah damainya dunia dengan kondisi seperti ini.
Agaknya memang tema ketuhananlah yang ingin disajikan Akbar dalam keseluruhan puisi yang disajikannya kali ini. Terlepas dari semua itu, membaca puisi-puisi Akbar tidaklah terasa seperti membaca karya siswa yang baru saja menulis puisi. Rangkian kata yang harmonis dan isi yang penuh makna membentuk satu kesatuan yang indah. Sangat terasa bahwa Akbar menghasilkan karyanya lewat perenungan yang mendalam tentang hakikat kehidupan.
Dalam puisi ”Batas” misalnya. Seekor angsa /Terbang dengan sayapnya yang rapuh /Terluka /Di siang yang hujan. Lalu ia Mati./Ia tetap mati walaupun tidak ada yang mengamati/. Akbar tentunya tidak asal memilih metafor angsa untuk mewakili ide yang ingin disampaikannya. Tentunya ada pengalaman, perenungan, atau mungkin pengamatan terhadap sosok angsa ’sejenis unggas yang terlihat kokoh dan indah tapi sebenarnya memiliki banyak kekurangan’. Angsa tidak bisa terbang tinggi, walaupun tubuhnya memiliki sayap, dan lebih menyedihkan ketika angsa itu terbang dengan sayapnya yang rapuh dan dalam kondisi yang terluka. Keadaan seperti ini kerap kita temukan dalam kehidupan manusia. Akbar menyajikannya dengan bahasa yang indah yang membuat kita lebih merenungi hakikat kehidupan.
Lain halnya dengan puisi ”Pematung”. Di sini Akbar seakan mencoba menggugat sekaligus memperlihatkan kepasrahan sebagai hamba Tuhan. Akbar degan sadar mengakui bahwa dirinya sebagai objek penciptaan, yang hanya bisa pasrah pada kuasa Tuhan, akan tetapi dibalik kepasrahannya manusia juga memiliki banyak keinginan. Lagi, pada puisi ini kita disuguhi kuatnya imajinasi penyair melalui metafor-metafor yang digunakan. Pada puisi ini, Akbar mengibaratkan sang pencipta sebagai pematung, dan dirinya sebagai objek penciptaan.
Melalui puisi ”Pematung” Akbar membawa kita pada kesadaran betapa lemahnya kita sebagai mahkluk Tuhan. Banyak hal yang ingin kita lakukan, tetapi Tuhan lebih punya kuasa dan kita hanya bisa berharap dan berdoa. Dalam puisi ini pula, Akbar menyisipkan kritik sosial dalam puisinya. Terkadang kita tak mampu berbuat apa-apa menyaksikan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi di sekitar kita.
Pada puisi ”Pagi Sang Pelukis” penyair menyampaikan pencarian hakikat ketuhanan. Pada dasarnya manusia tidak pernah mampu berbuat sesuatu melebihi kekuasaan Tuhannya. Manusia hanya bertindak sesuai dengan takdir Tuhan. katakan soal mimpi/Yang tak sanggup diingat dan dilukis/Oleh perupa /Tentang warna yang tak pernah ada/ Pagi ini kau kembali mengeluh/Mencari warna yang tak pernah tercipta. Melalui bait-bait ini, kita dapat dilakukan manusia. Bahkan untuk mimpi yang seolah nyata, seorang perupa pun tak sanggup melukisnya. Manusia tidak akan pernah bisa menciptakan sesuatu yang tidak diciptakan oleh Tuhan.
Puisi-puisi disajikan Akbar kali ini tentunya sangat menyentuh sisi kemanusiaan kita, selain itu, Akbar cermat dalam menggunakan metafor dan apik dalam menggunakan ide dalam rangkaian kata-kata penuh makna. Hal yang terpenting adalah, puisi-puisi yang disajikannya kali ini sarat dengan pesan moral. Semoga puisi-puisi Akbar terus dipublikasikan sehingga kita dapat terus menikmatinya.
MENANAM
ada
Hancur yang tidak pernah tidur
Kami
Menunggu terlalu percuma
Dari sesuatu yang kekal
mempelajari
Bagaimana kami dapat membunuh
Sementara kami lupa cara untuk membenci
Api yang kami sulut
Sudah membakar jari kaki
perih itu kenangan yang kami tanami bunga
BATAS
Seekor angsa
Terbang dengan sayapnya yang rapuh
Terluka
Di siang yang hujan. Lalu ia Mati.
Ia tetap mati walaupun tidak ada yang mengamati.
PEMATUNG
lihat diriku
aku telah lama menatapmu
waktu sudah jauh meninggalkanmu
aku masih menunggumu
kau cuma duduk diam menutup mata
singkirkan tanganmu yang ternyata hanya bisa
menopang dagu
sentuh kulitku
aku rindu tiap rabamu
luka di jemari kirimu kini kering
kau belum juga melirikku
pahat mulai karat dan tumpul
palu kayu kini merapuh dilahap rayap
mereka berdebu
kau tak juga menyentuhku
selesaikan bentukku
aku bermimpi tentang mata, telinga
bahkan barangkali aku butuh hidung
untuk coba hirup aroma air
kau cuma mengukir mulut yang tidak mampu bersuara
tangan yang tak mengepal
kaki yang tak berdiri
ingat aku
mungkin kau cukup sekejap untuk mengabaikanku
tetapi butuh ribuan tahun bagiku untuk berhenti
menuntutmu, memohon padaMu, melupakanmu
asah kembali pahatmu
gerakan tanganmu
pahat tiap detil bentukku
balut lukamu
agar aku tak menangis ketika kau selesaikan mataku
rapihkan telingaku
supaya aku mampu mendengar jelas
rintih kuda di pekaranganmu
namai aku
maka tak pernah kulupakan namamu
Keseimbangan
hutan rimbun
sesatkanmu dengan hitam
padang pasir luas tenang
juga mengantarmu pada buta
Mawar
Punya duri.
raflesia
kaya warna
Pagi Sang Pelukis
katakan soal mimpi
Yang tak sanggup diingat dan dilukis
Oleh perupa
Tentang warna yang tak pernah ada
Pagi ini kau kembali mengeluh
Mencari warna yang tak pernah tercipta
tiap harimu pikirkan warna
Tak pernah kau mampu goreskan warnaNya
Mimpimu cuma telur
Buah predator
Predator pelahap hari
Predator pemburu akhir
kau telah melukisNya?
Pernahkah kau melukis dirimu?
Aku menamai diriku ‘Hitam’
Mudahnya kau melukis dirimu
Mampukah kau melukis mimpimu?
Tak pernah kulakukan
Siapa pewarna bunga
Hingga begitu indah
Siapa pelukis langit
Hingga tak ada batasnya
Kau dapat melihat
Bisakah kau melukisNya
Sebagai plagiator, bukan predator
Pagimu cepat berlalu
Kau lupakan sesuatu
Yang kuingat predator mulai tumbuh dewasa
Porsi makannya bertambah
Sahabatmu ‘Hijau’ kahilangan
pagiNya
kasihku ‘Putih’ lenyap
dan Tak terkecuali mimpimu semalam
Karya: Akbar Adhitama, XII IPA 1 SMA Perintis 2 B.L
TTL: Jakarta, 30 Juni 1990
Bahasa dan Nasionalisme
*Yulfi Zawarnis
Sebuah artikel di media massa ibukota pernah menuliskan bahwa bahasa tidak saja sebagai alat komunikasi, tetapi juga mampu menusuk perasaan dan membuat sekelompok masyarakat merasa tersingkir oleh kesinisan yang terkandung di dalamnya. Lalu apakah kaitannya dengan perubahan nama Kampung Keling menjadi Kampung Madras? Menurut tokoh warga Tamil di Medan, sejatinya, istilah keling merujuk pada kekuasaan raja Kalingga (di India). Kamus Besar Bahasa Indonesia mencatat istilah Keling diartikan sebagai orang berkulit hitam yang berasal dari India sebelah selatan. Istilah keling bertukar menjadi istilah yang menghina sejak pertengahan 1970-an. Perlahan istilah keling mulai diasosiasikan dengan hal-hal yang kurang menyenangkan. Kulit hitam legam lebih ditonjolkan dibandingkan kelebihan yang dimiliki kelompok masyarakat ini. Gaya hidup yang suka bermabuk-mabukan dan premanisme mulai diidentikkan dengan mereka. Atas dasar itulah kemudian kelompok masyarakat ini berinisiatif untuk mengganti sebutan keling menjadi Madras. Perubahan ini tidak saja terjadi di Indonesia, tetapi sampai ke Negara-negara di Asia lainnya yang masih menggunakan istilah keling, seperti Malaysia dan Singapura.
Bahasa memang “organ vital” kemanusiaan, itulah kenyataannya. Pada zaman reformasi, kita masih ingat sekelompok orang yang menolak disebut cina karena menurut mereka istilah itu bernada sinis, menghina, kasar, dan bermakna negatif. Lalu kemudian media massa tidak lagi menuliskan istilah itu dan menggantinya dengan China, Tiongkok, atau Tionghoa. Lalu apa bedanya ketiga istilah ini? Menurut pakar bahasa Mandarin, Dr. Hermina Sutami, kata cina tidak berasal dari bahasa-bahasa negara Cina melainkan dari bahasa Sansekerta, chîna, yang berarti ‘daerah pinggiran’. Kata cina itu sendiri digunakan untuk menamakan negara yang berbudaya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, cina adalah sebuah Negeri di Asia; Tiongkok. Istilah Tionghoa dan Tiongkok ini sudah muncul di Indonesia sejak zaman Presiden Soekarno dan pada masa Presiden Soeharto diganti menjadi cina.
Rasanya menjadi tidak beralasan jika istilah cina dianggap lebih bermakna negatif dibanding istilah china. Bukankah kedua istilah ini sama saja? Hanya saja cina merupakan bahasa Indonesia dan china merupakan bahasa asing. Pun demikian dengan istilah keling yang memang makna aslinya tidak memiliki konotasi yang buruk sedikitpun. Jika kemudian muncul asosiasi yang negatif terhadap kata atau istilah yang bermakna netral, seperti keling dan cina ini, tentunya perlu pertimbangan yang matang untuk menggantinya. Masyarakat kita memang berasal dari berbagai suku dan bangsa, tetapi kita satu dalam Indonesia. Masalah bahasa tidak semata masalah rasa dan anggapan, tetapi juga masalah citra diri, identitas, dan nasionalisme.
Kecermatan Dalam Menulis Puisi
Erwin Wibowo,
Pemerhati Sastra, Alumni Universitas Nasional, Jakarta
Membaca puisi-puisi Leni Marlina “Beku Dalam Kalbu”, “Kosong”, “Celoteh Kacau”, “Tinta Hitam” dan “Luapan Hati” yang terasa pertama kali adalah pemakaian kata yang tidak sederhana, dalam puisi ini Leni memakai banyak metafora dan penuh imajinasi. Pada puisi “Beku Dalam Kalbu” Leni mencoba membawa kita ke dalam suasana kesunyian, kebimbangan, dan ketidakberdayaan seseorang dalam mengarungi hidup. Pada bait pertama Leni mencoba berimajinasi tentang isi hati yang sedang galau, Serumpun hati meraga, menanah, muntah /kebimbangan antara nyata dan dusta / Merontah tak kuasa tertepis kian hari / rapuh dan tak berarti. Ada yang menarik dalam puisi “Beku Dalam Kalbu”, ketika kata meraga, menanah, muntah, dihadirkan beruntun oleh Leni, sehingga pembukaan puisi ini sudah mendapatkan kesan emosional.
Puisi “Beku Dalam Kalbu” setidaknya menghadirkan sebuah kontemplasi pada setiap kata yang dipilihnya. Kata Ruah pada bait keempat, terdapat ketaksaan arti. Kata Ruah dapat berarti melimpah ruah, melimpah atau memanggil. Ruah kata hilang terterpa sabutan angin.
Pemilihan kata yang disuguhkan oleh Leni sudah bisa dibilang baik. Pada puisi “Celoteh Kacau”, setidaknya saya menemukan beberapa pemilihan kata yang baik. Seperti bait Tukasnya untukmu, kata tukas disini dimaksudkan kata ucap atau bilang. Atau seperti kata muncrat pada bait Merah muncrat jadi lukisan berharga. Merah dalam bait ini dihadirkan Leni untuk memberikan maksud hati yang sedang marah. Apalagi dengan pemunculan kata muncrat yang mempunyai arti mengeluarkan cairan dengan deras dan tak terkendali, sehingga bait itu setidaknya mempunyai arti kemarahan yang selalu mewarnai hidup “aku lirik”. Akan tetapi, Leni harus cermat dalam memilih kata yang akan dipakai untuk puisinya, Tapi kau hanya serngitkan dahi. Pada kata serngitkan, mungkin maksud Leni adalah kernyit yang mempunyai arti mengerutkan alis.
Pada puisi “Kosong”, Leni mencoba mengisahkan kegelisahan yang dialami “aku lirik”. Gerak meronta,memaksa ditepis/ salah hidup, salah angan/ dendang kasih hinag terbang/ ufuk tak hirau dan aku terkoyah. Dalam bait ini leni mencoba menghadirkan Sebuah kontemplasi atas sebuah perjalanan hidup yang panjang. Salah hidup, salah angan, sebuah pernyataan tentang jalan hidup yang membawa sebuah keterpukuran.
Sepertinya untuk menjalankan hidup yang lebih baik sepertinya sulit didapat oleh “aku lirik”, didekap penuh ida, tak terasa/ dibelai penuh raga, tapi terhempas/ dalam nada sumbang/ sebuah kehidupan. Mencoba merengkuh hidup dengan sepenuh kasih, tetapi sulit untuk untuk dirasakan, menjalankan hidup dengan sepenuhnya, tetapi malah terbuang.
Pemilihan bunyi, kata, dan kalimat dalam puisi ini sudah cermat sehingga memberikan nilai estetis dan puitis. didekap penuh ida, tak terasa/ dibelai penuh raga, tapi terhempas. Pemilihan bunyi a, e, dan u yang dikombinasikan dengan bunyi d dan g, dapat memberikan kesan kesedihan.
Pada bait ketiga leni masih menjaga kekuatan puisinya dengan pemakaian metafor untuk sesuatu yang ingin disampaikannya menghampa dunia kaca mata maya. Seakan-akan hidup yang dijalani oleh “aku lirik” sedah tidak ada artinya, keinginan untuk menjadi lebih baik hanya menjadi angan-angan belaka.
Lain halnya pada puisi “Luapan Hati” Leni mencoba menghadirkan puisi yang sederhana, tidak dengan metafora, itu terlihat dari pemakaian kata dalam puisinya. Lagi-lagi Leni memberi suatu gambaran hati yang sedang kacau. kata seperti hilang, kosong, kering, rapuh, pahit, manis, asam adalah kata-kata yang sederhana. Akan tetapi, dengan kata-kata itu terlihat jelas bagaimana suasana yang sedang dialami oleh “aku lirik”. Serekat ini puing luluhku. Sepertinya cobaan hidup yang begitu berat sampai “aku lirik” sudah merasa tidak kuat lagi untuk menjalaninya. Pada bait kedua ini, Leni lagi-lagi memakai metafora untuk menyampaikan maksud yang ingin disampaikan. Meradang di tangga-tangga nada sunyi. Meradang yang mempunyai arti menjadi bengkak dan keluar gerah bening. Dalam puisi ini, meradang bisa berarti situasi yang sudah buruk dan tidak tahu kapan akan berakhir.
Secara keseluruhan puisi yang ditulis oleh Leni sudah sangat baik, pemakaian metafora dan pemilihan diksi memperlihatkan bahwa Leni sangat berbakat dalam menulis puisi. Akan tetapi, akan lebih baik jika Leni terus belajar dan membaca karya sastra agar nantinya Leni mendapat banyak pengetahuan untuk menciptakan metafora.
Leni Marlina
SMAN 1 Gadingrejo tanggamus
Beku dalam kalbu
Serumpun hati meraga, menanah, muntah
Kebimbangan antara nyata dan dusta
Merontah tak kuasa tertepis kian hari
Rapuh dan tak berarti
Titisan makna menjulang di umbun jiwa
Mengharap cahaya tertera dalam raga
Menyelubung takkan membendung
Membasah tak kuasa merontah
Cahaya itu dulu membalutku
Tapi kini tak tahu kemana
Rintihan pikir kritis akan dusta
Kata merebah jadi asa paksa
Ruah kata hilang terterpa sabutan angin
Membisu, tak mampu memanggil sinar suci
Hanya beku memapar dalam kalbu
Tuhan tolong ajari aku
By: Leni Marlina
CELOTEHAN KACAU
Hati tercabik
Mereguk sunyi, bimbang dan sepi
Kata tak bermakna
Terangkai dalam bingkai rumit
Terkunci sejenak nadi
Tukasnya untukmu
Tuntas sudah harap bukan tiarap
Karena mati tak tersusun nadi
Elok katamu bersahaja
Merah muncrat jadi lukisan berharga
Jangan disentuh katamu
Tarap-tarap hidup lepas
Masa bodoh dengan aturan tak terlandas
Tanduk-tanduk kesengsaran itu hanya imitasi
Katamu lihai tak permai
Nyaman perut disanggah
Hati merontah tak terasa
“dia tuli” katanya padamu
Tapi kau hanya serngitkan dahi
Tanpa ucap sepatah kata
By: Leni Marlina
TINTA HITAM
Menitik erat tinta hitam
Tinta hitam yang kau guyurkan
Tinta pengkristal luka
Cabik jiwa, merongrong di hati
Penyebar tinta hitam
Hapuskan noda yang terukir ini
Pipiskan bersama sang bayu
Congkel dosa yang merebah dalam nadi
Wahai kau penyebar tinta hitam
Tirai-tirai makna ini telah menggenggam sanubari
Merasuk dalam sumsum nada
Jadi alunan sumbang
Nan menggema di sudut-sudut hati
Wahai kau penyebar tinta hitam
Aku telah rapuh
Terkayah-koyah dalam Lumpur kenistaan
Nan muncul dari setitik tinta hitam
Tak mengertikah kau
Rintih disetiap nafas hidupku…
By. Leni Marlina
LUAPAN HATI
Hilang…
Kosong…
Kering….
Rapuh…..
Gambaran hatiku
Pahit…
Manis….
Asam….
Getir….
Pedih…..
Rasa lukaku….
Serekat ini puing luluhku
Meradang di tangga-tangga nada sunyi
Menunggu…
Dalam luka galauku
Memucuk rangkaian rindu
Dalam kalbu biru
By. Leni marlina